Saya tergelitik untuk mencoba menulis, walaupun
saya tidak pandai melakukannya, mungkin ini disebabkan seringnya media
memberitakan kebobrokan yang ada pada Ditjen Pajak, instansi dimana adik
saya bekerja.
Adik saya, memiliki sedikit kemiripan dengan Dhana Widyatmika, dimana
suami istri bekerja sebagai pegawai Ditjen Pajak dan kami juga merupakan
anak perwira TNI.
Saya banyak mengetahui kehidupan pribadi adik saya, semenjak tugas pertamanya hingga saat ini - sudah belasan tahun, saya dan adik saya (atau keluarganya) tinggal di kota yang sama sehingga sering ada interaksi di antara kami.
Saya banyak mengetahui kehidupan pribadi adik saya, semenjak tugas pertamanya hingga saat ini - sudah belasan tahun, saya dan adik saya (atau keluarganya) tinggal di kota yang sama sehingga sering ada interaksi di antara kami.
Tidak ada yang luar biasa pada adik saya, kecuali kecintaannya pada
negeri ini yang dia wujudkan dengan bekerja sebaik-baiknya, dia tidak
terlalu peduli dengan kedudukan dan jabatan. Tidak pernah melihat
keadaan orang lain yang lebih baik darinya dengan kacamata iri hati.
Sebenarnya, adik saya cukup cerdas, kalau mau belajar, terbukti dia
dapat memasuki perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini, namun
sayangnya belajarnya memang agak angin-anginan, sehingga prestasi di
sekolahnya ya biasa saja. Dia mudah merasa cukup dengan apa yang
dimilikinya, hal itulah yang “menghambatnya” untuk meneruskan
pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Kehidupan keluarga adik saya terbilang biasa saja, alhamdulillah dia
beristrikan sesama pegawai yang memiliki komitmen yang sama sebagai abdi
Negara ditambah dengan ketaatan mereka beribadah, menjadikan mereka
tidak silau dengan godaan yang ada di sekeliling mereka dalam
melaksanakan pekerjaannya.
Sejak kecil kami hidup sederhana, walaupun almarhum ayah kami merupakan
seorang Kolonel TNI-AD, dan bahkan di masa perang kemerdekaan pernah
menjadi anak buah Pak Harto di Wehrkreise III Yogyakarta. Kejujuran
menjadi nafas beliau sehari-hari dan hidup sederhana menjadi
kebanggaannya, walaupun sebagai anggota TNI-AD yang pada masa orde baru
merupakan warga Negara kelas satu dapat saja beliau mendapatkan
penghasilan lebih, namun beliau lebih suka menikmati hidup seperti itu.
Kembali ke adik saya, sedikit banyak almarhum ayah kami menurunkan
sifatnya kepada dia, kejujuran dan “tidak ingin macam-macam” dalam
bekerja, di saat-saat melaksanakan tugasnya tidak jarang dia mendapatkan
tawaran sejumlah uang dari wajib pajak yang diperiksanya, namun dia
tolak dengan halus.
Keadaan saya dan saudara-saudara saya yang lain secara ekonomi tidak
terlalu baik, terlebih kakak perempuan saya, yang bersuamikan seorang
guru honor suatu SD Negeri, jujur saja, jika sedang mengalami kesulitan
uang, seringkali kami bermaksud meminjam uang kepadanya, berharap,
barangkali adik saya punya kelebihan uang. Kadang diberikan pinjaman,
dengan pesan: “Kalau bisa dikembalikan ya! Kalau tidak bisa berarti saya
yang mengalah, dengan mengurangi jatah makan siang di kantor…” Begitu
dia mengatakan, sambil tersenyum.
Jika tidak dapat memberikan pinjaman, dia minta maaf dan seringkali
berpesan untuk sabar dengan kondisi kami yang seperti ini,
“Mudah-mudahan di hari nanti kita semua mendapatkan keadaan yang lebih
baik lagi dibandingkan saat ini, Allah Maha Adil” katanya.
Adik saya, memang tidak mau memberi makan keluarganya dari hasil yang
tidak berkah, ia meyakini, hasil yang tidak berkah akan turut
mempengaruhi pertumbuhan anak-anak walaupun kesempatan itu berulang kali
ada, namun ia berkeyakinan bahwa rejeki telah ada yang mengatur,
baginya rejeki tidak selalu berkorelasi dengan materi, kesehatan dan
kemudahan adalah contohnya. Di dalam diri adik pula saya melihat bahwa
baginya materi bukan segalanya, walaupun materi memang penting. Pernah
suatu ketika ia bercerita, bahwa ia baru saja menyuruh pulang seorang
wajib pajak, yang membawa satu travelling bag berisi penuh uang yang
semula ditujukan untuknya, ia menolak untuk menerima, walaupun saat itu
kami memang sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan rumah sakit
bagi orangtua kami. Adik saya hanya sedih, kenapa godaan baginya sangat
berat di saat ia membutuhkan.
Saya bangga terhadap integritas adik saya dan itu terjadi jauh-jauh hari
sebelum reformasi didengungkan oleh para petinggi negeri. Terhadap
teman-teman seangkatannya yang tinggal di kota yang sama di Jawa Timur,
adik sering memperkenalkan mereka kepada saya, dari interaksi tersebut
pun saya mengetahui bahwa ternyata adik saya tidak sendirian mengambil
sikap, saya yakin seyakin-yakinnya, apabila hal tersebut dijaga insya
Allah negeri ini menjadi penuh berkah.
Di alam reformasi ini Ditjen Pajak hanya merupakan sub-sistem dari suatu
sistem, dimana satu bagian akan terkait dengan bagian lainnya. Tidak
mungkin perbaikan akan terjadi hanya di dalam sub-sistem tersebut tanpa
diimbangi oleh bagian lain. Menurut pendapat saya, berbenahnya Ditjen
Pajak merupakan gangguan bagi sistem lain yang tidak ingin berubah dan
masih menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, untuk
itulah pihak-pihak lain tersebut selalu berkepentingan untuk menganggu
kinerja Ditjen Pajak, tanpa pernah memikirkan efek yang lebih besar,
yaitu terganggunya penerimaan Negara dari sektor perpajakan.
Kasus-kasus Ditjen Pajak yang ditimbulkan oleh pihak lain tersebut dapat
kita lihat merupakan perbuatan masa lalu, itu pun harus dibuktikan
kebenarannya terlebih dahulu. Kasus Gayus, Bahasjim, Denok serta Dhana
yang terakhir adalah perbuatan masa lalu, bukan pada saat reformasi
perpajakan telah digulirkan. Hanya Ditjen Pajaklah satu-satunya
institusi yang menerapkan whistle blowing system. Tidak ada satu pun
institusi pemerintah yang menerapkan aturan sekeras itu kepada
pegawainya sendiri.
Kepada pihak-pihak yang selalu menginginkan Ditjen Pajak terganggu
kinerjanya, ingatlah selalu untuk menengok ke dalam diri masing-masing,
seberapa jauh perbaikan yang sudah dilakukan. Apapun yang dilakukan,
selama itu tidak didasarkan pada niat yang lurus akan mendapatkan
kehancuran.
Mari kita semua berbenah, rekening gendut tidak hanya milik sebagian
pegawai pajak, kejaksaan, kepolisian, TNI, anggota DPR seharusnya
diperlakukan sama.
Selamanya, saya akan bangga terhadap adik saya sendiri, sebagai
pemeriksa pajak, dia hanya menjalankan tugasnya berdasarkan
Undang-undang, orang pajak bukan taat palak, seperti yang tertulis dalam
cover majalah Tempo edisi kali ini, mereka hanya pegawai negeri biasa.
Saya juga meyakini, media-media yang memberitakan institusi Ditjen Pajak
secara tidak berimbang memiliki kepentingan tertentu, terutama dalam
membayar pajaknya.
(http://birokrasi.kompasiana.com/2012/03/04/adik-saya-seorang-pemeriksa-pajak-lulusan-stan-dan-saya-bangga-kepadanya-444348.html)
(http://birokrasi.kompasiana.com/2012/03/04/adik-saya-seorang-pemeriksa-pajak-lulusan-stan-dan-saya-bangga-kepadanya-444348.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar