Bukan
rahasia lagi bahwa Pemilu 2014 ini penuh kecurangan. Nyaris di semua
provinsi temuan kecurangan begitu melimpah. Ini sekali lagi membuktikan
bahwa UANGlah yang berdaulat, bukan rakyat. Istilah vox populi vox dei
sudah tidak relevan lagi. Karena suara rakyat ternyata bisa dibeli.
Kampanye “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” juga tidak ngefek. Sebab
faktanya mereka tetap mencoblos siapa yang rajin “memberi”.
Di
kelurahan saya, nyaris semua caleg yang mendapat suara signifikan
adalah mereka yang gemar “menyiram” massa. Nilainya berkisar dari Rp.
20.000,- s.d. Rp. 200.000,-. Malah yang mendistribusikan “kedermawanan”
para caleg ini adalah lingkungan keluarga besar saya. Maka saya tahu
persis berapa jumlah yang dikeluarkan para tim sukses. Padahal mereka
tak mengenal sang caleg. Padahal ada caleg yang bandar judi. Padahal ada
caleg yang ijazah sarjananya membeli. Padahal ada caleg yang dulu
mereka benci setengah mati karena kelakuannya tak tahu diri.
Tak
kalah hebat, hitungan matematika para penyelenggara negara pun begitu
ajaib. Dalam foto-foto yang dirilis saksi salah satu parpol yang
kemudian dishare politisi Golkar, Indra Jaya Piliang melalui akun twitternya, terlihat salah satu penghitungan: 5+2+2+5+9+16+1+3+1+1+1=135. Saya tidak tahu dimanakah KPPS ini belajar matematika. Mungkin mereka hendak menciptakan teori baru, pikir saya.
Pemilu Seperti USM STAN?
Melihat
ini semua, banyak pihak yang pesimis dengan Hasil Pemilu. Jika
kecurangan terjadi dimana-mana, maka kelak yang menjadi anggota dewan
terpilih bukan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Dengan begini, sampai
kapankah –meminjam istilah Karni Ilyas- DPR kita mau bebas dari korupsi
jika mereka menang dengan membagi uang dan berlaku curang.
Maka,
izinkanlah saya mengandaikan atau –lebih tepatnya- mengusulkan sistem
Pemilu kita ini diubah. Tak usah lagi pakai sistem pemungutan suara.
Namun gunakan saja sistem seleksi terbuka. Persis seperti Ujian Saringan
Masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (USM STAN ). Pola
USM STAN sudah teruji merupakan salah satu metode rekrutmen mahasiswa
paling kredibel dan bersih. Bila sejumlah sekolah kedinasan lainnya
penuh aroma busuk taruna titipan, maka STAN relatif aman dari perkara demikian.
Cobalah Anda bayangkan jika tahapan Pemilu diganti persis seperti USM STAN. Sederhananya begini:
Pertama,
para caleg menyetor biaya pendaftaran. Di sini mereka hanya membayar
seratus ribu rupiah untuk syarat pendaftaran. Ini tentu menghemat
pengeluaran para caleg.
Kedua,
para caleg melakukan registrasi online dan pendaftaran ulang. Yang
gagap teknologi atau belepotan mengisi biodata bakal belajar lebih giat
agar tidak “oon”.
Ketiga,
para caleg mengikuti ujian tertulis yang terdiri dari Tes Potensi
Akademik dan Tes Bahasa Inggris. Ini mewakili seleksi kecerdasan
intelektual.
Keempat,
para caleg yang lulus TPA dan TBI, mengikuti ujian selanjutnya yaitu
tes kesehatan dan kebugaran. Ini mewakili seleksi kesehatan jasmani.
Kelima,
para caleg yang lulus Tes Kesehatan dan Kebugaran, mengikuti wawancara
kerja. Ini mewakili seleksi kedewasaan psikologis, kematangan emosi dan
kecerdasan interpersonal.
Dengan
cara seperti ini, meski diikuti oleh –katakanlah- 100.000 caleg,
setidaknya nanti para anggota dewan yang lolos adalah mereka yang
benar-benar punya kemampuan. Bukan seperti sekarang ini. Ada caleg yang
berbicara di depan orang saja gagap, tapi karena bapaknya mantan bupati
dan punya sumber daya finansial kuat, maka ia sukses melenggang ke kursi
empuk dewan.
(http://politik.kompasiana.com/2014/04/16/bila-pemilu-seperti-usm-stan-649320.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar