Oleh: Kak Meini Wahyu Utami, Spes Anggaran 2010
Bismillahirrokhmanirrakhim
Oh
ya teman-teman dan adik-adik yang mudah-mudahan selalu dalam lindungan
Allah SWT, perkenalkan nama sy Meini Wahyu Utami, boleh kalau mau
manggil Mei, Meini, Meimei, atau Utami, selama masih memiliki makna yang
baik dan nyambung dg nama sy, insya Allah sy siap dipanggil dengan nama
tersebut hehe. Asalnya dari Boyolali, Jawa Tengah. Kalo yang belum
tahu, Boyolali itu sebuah kabupaten yang cukup kecil yang juga sering
disebut Kota Susu karena termasuk salah satu penghasil susu sapi
terbesar layaknya di Lembang (Bandung), sejuk, ada Bandara Adi Soemarmo
juga di situ, dekat dengan Gunung Merapi, bisa dibilang Tiga Serangkai
dengan Solo dan Klaten. Dekat juga dengan Semarang dan Jogjakarta, nah
kalau belum tau juga insya Allah belum dihapus sama Pemerintah, jadi
masih ada di Peta J.
Sejak
kecil hingga lulus SMA, sy tinggal bersama keluarga yang sangat sy
cintai dan sangat bersyukur dengan keberadaannya, di tempat tinggal sy
di Boyolali. Namun meskipun banyak mengonsumsi singkong, hingga kini
belum terbit buku berjudul “Meini anak singkong” hehe. Dan setelah
lulus SMA sy berkesempatan menjadi anak kota-an, karena bersekolah di
sini.
Kuliah,
untuk satu orang bisa jadi kuliah adalah hal yang sangat biasa, untuk
satu orang yang lain bisa jadi menganggap kuliah adalah sesuatu yang
tidak harus, penting ga penting, sementara untuk sy sendiri kuliah
adalah salah satu cita-cita sy sejak dahulu. Bukan ihwal gelar yang
diperoleh setelah lulus, bukan pula karena sebuah prestise yeng tinggi
ketika bisa kuliah, namun kuliah merupakan salah satu cara untuk terus
menimba ilmu, salah satu bentuk ibadah dan syukur sy, dan salah satu
bentuk ikhtiar sy agar menjadi orang yang berilmu.
Alhamdulillah
sy memiliki orang tua yang sangat mendukung pendidikan anak-anaknya,
Bapak yang dulu seorang PNS dan sekarang sudah memasuki masa pensiun,
Beliau adalah sosok bapak yang sangat tegar dan berjuang keras untuk
menghidupi keluarga kami. Salah satu prinsip beliau adalah ‘ketika Bapak
nanti tidak bisa membekali dan mewarisi harta untuk kami, setidaknya
Bapak telah berjuang untuk membekali putera-puterinya dengan ilmu’,
semoga dengan ilmu dan pendidikan yang kami miliki, kami memiliki
pribadi, pemikiran dan kehidupan yang jauh lebih baik daripada Bapak dan
Ibu. Dan Ibu sy, Beliau dulu sampai sy lulus SMA adalah seorang ibu
rumah tangga tulen, hampir seratus persen waktunya di rumah untuk
mengurus keluarga, baru di beberapa tahun terkhir ini beliau menyibukkan
diri dengan bertani, selain ada yang dihasilkan juga sebagai sarana
hiburan kata beliau. Beliau sering bilang “kalau dihitung untung ruginya
ya mungkin ga balik modal, tapi ya kalau ada yang ditanem itu bisa
lebih ayem(tenang), refreshing”, insya Allah.
Saya yakin orang tua teman-teman tidak kalah luar biasanya dengan orang tua sy J.
Sy puteri ke tujuh dari delapan bersaudara. Bapak sering bercerita,
dulu ketika mas pertama kami dan saudara laki-laki satu-satunya, mas
sarbini masuk SMP (kami memanggilnya “Cak Bin”), biaya masuk sekolah
cakbin lebih besar daripada gaji bapak. Kala itu gaji bapak masih
sekitar 26 ribu rupiah, karena bapak juga masih awal-awal menjadi PNS,
sementara biaya masuk SMP cakbin sudah sekitar 32 ribu rupiah. Namun
bapak yakin bahwa setiap anak membawa rezekinya masing-masing, dan
alhamdulillah cakbin dan kami bisa lancar sekolahnya.
Nah,
untuk STAN sendiri sebenarnya dulu sampai kelas dua SMA sy belum akrab
dengannya. Semoga tidak salah ingat, pertama kali mengetahui tentang
STAN adalah dari teman SMP sy, Budi namanya. Waktu itu kami kelas dua
SMP, sebelum mendapat giliran ulangan IPS ia bercerita tentang keinginan
kakaknya untuk masuk ke kampus ini, yang kudengar adalah sekelumit
berita bahwa kampus ini berkecimpung di bidang akuntansi, dan cukup
istimewa. Tapi kala itu antusiasku terfokus pada cerita budi, bukan pada
kampus STAN nya. Di awal kelas satu SMA kami pernah mendapat tugas
menulis seratus impian di dalam lembaran kertas dan menyontrengnya
manakala impian tersebut telah tercapai satu persatu, terinspirasi dari
cerita mas Danang Ambar dari IPB. Impian pertama adalah masuk surga, dan
impian ke sekian salah satunya adalah bisa masuk ke perguruan tinggi
kedinasan, belum terspesifik pada STAN. Di kelas dua SMA pernah mendapat
undangan ke SMA lain dalam suatu acara yang dikoordinir oleh ROHIS-OSIS
SMA tersebut, di situ pula kami diminta untuk menulis beberapa
cita-cita kami, beberapa anak diantaranya membacakan keras-keras impian
tersebut dan lainnya diminta membantu meng –aamiin-kan doa beliau, dan
lagi-lagi salah satu impiannya adalah “bisa masuk STAN”, sama dengan
harapan sy. Namun yg sy lakukan kala kelas dua itu masih sebatas pada
belajar materi-materi di kelas dan aktivitas lainnya, belum banyak
mencari tahu informasi perguruan tinggi.
Di
semester satu kelas tiga SMA sy mulai semakin serius memikirkan langkah
sy setelah lulus SMA nanti. Di hadapkan pada persiapan UAN dan berbagai
ujian akhir serta berfikir untuk mencari perguruan tinggi, dan urusan
lainnya, rasanya begitu mendewasakan. Bagus, dan Sicha, teman sy sejak
SMP mengajak serta untuk mendaftar beasiswa Politeknik Manufaktur Astra,
sebuah Perguruan Tinggi di bawah keluarga besar Astra. Berbagai tes
kami lewati, berbulan-bulan, bertahap dan memakai sistem gugur tiap
tahapnya, pendaftarnya dari berbagai daerah di Indonesia, dari seluruh
tes tersebut diambil sekitar delapan puluh anak. Dan alhamdulillah Allah
SWT mengizinkan sy menjadi salah satu yang berhak mendapat beasiswa
tersebut. Sehingga jauh-jauh hari sebelum UAN sy sudah mendapatkan satu
bangku di sebuah perguruan tinggi. Alhamdulillah.
Sy
memantapkan diri dengan pilihan tersebut. Prinsip sy waktu itu adalah
sy tidak ingin pendidikan sy berhenti di bangku SMA, sy ingin bisa
melanjutkan sekolah tanpa harus orangtua mengeluarkan biaya, yang sy
pegang teguh adalah ikhtiar, doa, tawakal. Sy berusaha selalu minta
didoakan orangtua, guru, dan teman-teman agar sy bisa ditempatkan di
tempat yang terbaik. Pada waktu itu sy sudah mendapat calon kampus, dan
setiap teman-teman bertanya “mau ngelanjutin di mana mei?”, sy menjawab
“doain ya di mana aku daftar, semoga bisa diterima, dan dapet yang
terbaik hehe”.
Setelah
lulus SMA, Sicha mengajak sy untuk ikut les Bimbel masuk Perguruan
Tinggi, terkhusus STAN. Iwangsari namanya, rumah di Boyolali, sementara
tempat les ada di Solo, jadi kami memutuskan untuk menginap di kost yang
masih satu rumah dengan tempat les kami. Sewaktu SMA sy pernah mendapat
rezeki dari sebuah lomba, dan uang yang masih ada itu saya pakai untuk
ikut les ini. Di sini kami mendapat keluarga baru, Bu Andi, Pengajar
kami yang sekaligus menantu beliau, dan masih banyak lagi. Beliau-beliau
ini sangat baik kepada kami. Aku dan Sicha tidur dalam satu kamar yang
berukuran kurang lebih 3X2 meter persegi, itu satu-satunya kamar yang
tersisa di sana. Kami sering cekikikan menjelang tidur.
Seringkali terdengar suara kereta yang melintas, karena kebetulan tempat
tinggal kami ini cukup dekat dengan rel KA di Solo. Bapak, Ibu sangat
bersemangat mendukung sy, saudara-saudara juga, Bapak terus berusaha
untuk mencarikan dan mengantar biaya hidup sy selama ikut bimbel ini.
Dan ketika hari jum’at tiba kami begitu bahagia karena siang hari
setelah les kami bisa langsung pulang ke rumah.
Sicha
sering membangunkanku untuk sholat malam, merasakan kesejukan sepertiga
malam, rasanya benar-benar dekat dengan-Nya, memohon layaknya anak
kecil yang penuh harap. Dalam subuh kami, dapur bu andi sudah mengepul
dan tercium aroma wangi kue pukis yang beliau produksi, hmm wanginya
membuat sy dan sicha semakin menghisap-hisap aromanya sembari tertawa.
Hihi. Di pagi sampai sore harinya, sampai malam lagi kami belajar dengan
soal-soal USM, di sela-sela belajar itu terkadang kami berdua
jalan-jalan ke kantor RRI(Radio Republik Indonesia), Taman kota, Pasar
Legi, dan tempat-tempat di dekat kost-an dengan jalan kaki sembari
membawa buku dan alat tulis. Dan baru kali itu kami melihat gebyar
wayang nusantara yang diadakan di RRI. Nyuci bareng adalah salah satu
hiburan kami. Kalau makan kami membeli di angkringan atau pedagang
makanan yang ada di situ, selain dekat juga kami harus berhemat. Ada
satu ibu penjual makanan yang sangat baik, beliau sering curhat tentang
cucu beliau, dan sering memberikan harga murah serta porsi yang lebih
kepada kami, hampir setiap pagi kami membeli sarapan di beliau, kecuali
kalau sedang berpuasa kami membeli di tempat lain. Masya Allah, semoga
Allah membalas kebaikan beliau dengan sebaik-baiknya balasan.
Hampir
satu setengah bulan kami mengikuti les, dan di masa itu pula kami
diperkenalkan dengan banyak saudara baru. Sy memutuskan untuk tidak
mengikuti SNMPTN, pertimbangannya jika ternyata sy belum diterima di
STAN, sy akan memilih di Polman Astra saja. Empat Mei kami mendaftar USM
STAN di BDK Jogjakarta, sejak pagi kami mengantri dan baru menjelang
sore kami pulang.
Pada
20 Juni 2010 tes USM STAN berlangsung. Sy dan Sicha mendapat tempat di
Kampus II Achmad Dahlan Jogjakarta. Berangkat dari rumah sebelum subuh,
berkendara sepeda motor dengan Bapak sampai Kartasura, dilanjutkan
dengan Bus Umum sampai terminal Jogjakarta, dan Taksi Kota hingga di
tempat tujuan. Kulihat Bapak begitu perhatian, tes pukul delapan pagi,
pukul enam kami sudah sampai. Dengan menyebut nama Allah SWT sy mulai
mengerjakan satu persatu soal.
Selesai
ujian rasanya sudah tidak karuan, pokoknya alhamdulillah aja. Tawakal.
Di luar ruangan sudah ada dua teman sy yang menunggu, ketika bercerita
mereka mengungkapkan bahwa seluruh soal dijawab, cerita-cerita mereka
itu membuat psimisku melambung tinggi. Yaweslah pasrah wae, dalam
hati. Rasanya sarapan tadi pagi sudah terkuras ketika menjawab soal
ujian tadi. Terus mengghela nafas, mengingat-ingat soal, kubuka lagi
lembaran soal yang masih di tangan, subhanallah ternyata masih
ada satu halaman yang baru kuketahui keberadaannya setelah pulang, pada
waktu mengerjakan kukira sudah semua soal kuperiksa. Tawaktu ‘alallah, pasrah sepasrah-pasrahnya.
Semenjak
hari itu sy tidak lagi membuka-buka soal ujian yg sy bawa. Sy taruh di
atal lemari TV. Sy hanya bisa berdoa yang terbaik, “Ya Allah, sy ingin
kuliah di STAN, jika STAN adalah ang terbaik untuk kami, maka izinkanlah
kami kuliah di sana Ya Allah”, sy meminta yang terbaik untuk sy dan
teman-teman. Bapak, Ibu, Bapak dan Ibu Ponpes selalu menguatkan. Di saat
itu ada yang harus sy lakukan yaitu segera daftar ulang di kampus
sebelumnya. Pertengahan juli, sy dan Bapak ke Jakarta Utara guna
Registerasi ke kampus. Pertimbangan ikut matrikulasi pada 22 Agustusnya,
akhirnya sy memutuskan untuk menunggu di rumah mbak yang ada di
Cikarang. Sy berusaha benar-benar menata hati. Apapun hasilnya, diterima
atau tidak, insya Allah dari Allah adalah yang terbaik.
Tiga
Agustus 2010, pengumuman itu keluar. Teman-teman sudah banyak yang
meng-sms menanyakan pengumuman padahal sy sendiri juga belum sempat
berkunjung ke warnet. Sebelum ke warnet, ada satu pesan singkat masuk ke
HP “Dek No BPU mu berapa?”, belum sempat balas “04609867, bukan?”,
“Selamat ya 04609867 a.n. Meini Wahyu Utami diterima”. Mas Yossi, kakak
kelasku sejak SMP dan yang selama ini jadi informan primer satu-satu nya
tentang STAN mengabari sy lewat SMS. Alhamdulillah, sy bersujud syukur
kemudian menghubungi Bapak di rumah. Bersyukur bercampur haru, dan
bingung bergabung menjadi satu. Di satu sisi sy ingin melanjutkan kuliah
di STAN, namun di sisi lain sy juga sudah menandatangani MOU Beasiswa
di kampus yang juga sudah sy pilih sebelumnya. Sy sholat istikharoh
memohon ditunjukkan Allah yang terbaik. Yang terpikir kala itu adalah
kalimat “Jika mengundurkan diri maka mengembalikan seluruh biaya yang
sudah di keluarkan dari pihak Polman Astra”, hmm angka 20 juta bukanlah
angka yang kecil kala itu. Allah aku berpasrah kepada Mu.
Singkat
cerita, pihak kampus melalui seorang utusan yang sangat baik , semoga
Allah memberkahi beliau, meminta sy untuk membuat surat pengunduran
diri beserta tanda tangan sy dan orangtua/wali di atas materai enam ribu
rupiah. Allahu Akbar betapa pertolongan Allah itu amat dekat, sebelum
akhirnya sy dan Bapak menandatangani surat pengunduran diri, beliau
memberikan berbagai saran sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan
apakah Polman Astra ataukah STAN yg sy pilih, beliau bilang “Mei,
keputusan ada di tanganmu, mei mau milih sini atau milih STAN semua yang
jalanin kamu”, dengan bijak beliau menyampaikan kalimat tersebut.
“Bismillah pak, semoga ini menjadi yang terbaik, sy memohon maaf ya pak,
sy memilih STAN”. “Oh iya ga apa-apa mei, semoga sukses ya J “. Ah Bapak itu, dan Astra, semoga sukses dan berkah.
Ke
luar ruangan menuju jalan raya, sy dan Bapak istirahat sebentar.
Subhanallah, kamis itu rasanya Allah mengirimkan angin yang begitu sejuk
dari hari-hari sebelumnya di tengah Sunter yang cahaya sang surya
subhanallah begitu teriknya. “Alhamdulillah banget ya pak J”.
Dan
setelah di STAN, sy kembali meluruskan niat untuk apa sy di sini. Niat
untuk beribadah kepada Allah. Dan sy semakin menyadari bahwasannya sy di
STAN ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, Allah memiliki alasan dengan
menempatkan sy di sini. Di manapun kita berada ada dua kemungkinan yang
bisa kita pilih, baik itu lingkungan, teman, jalan, dan lainnya. Di STAN
sy menemukan teman yang luar biasa baik akhlaknya menurut kacamata sy;
lingkungannya kondusif; kalau ingin memperdalam ilmu agama aksesnya
tersedia dengan luasnya; banyak unit organisasi; mengasah keterampilan
dengan gratis dan mudah; kalau ingin mendedikasikan diri kepada
masyarakat sekitar ada TPA, lapak, dan lainnya yang bisa dipilih; tak
perlu takut ketika belum punya stok pakaian yang banyak karena kuliah di
STAN memakai seragam yang amat sangat sederhana, mau merk mewah
boleh-boleh saja, namun tetap saja ketika sudah bercampur hampir tak ada
bedanya sebab Mahasiswanya saling toleran dan menghargai tak pernah
rasanya menggunjingkan masalah seraga; kalau ingin mengambil sambilan
mengajar insya Allah juga banyak yang membutuhkan SDM Mahasiswa STAN.
Sekali lagi lingkungan baik ataupun lingkungan buruk, sederhana atau
bermewah-mewah, kita sendiri yang bisa turut menentukan, jika memang
menginginkan yang baik, insya Allah akan mendapatkan yang baik.
Pengalaman
yang sudah-sudah, ketika orang bertanya “Kuliah di mana mbak?”, “Sy di
STAN Pak/Bu”, “Wah pasti pintar ya bisa diterima di STAN”, Kemudian
kujawab “Aamiin, alhamdulillah mungkin rezeki dan cocoknya di STAN
Pak/Bu”. Setiap orang dilahirkan dalam keadaan kosong, maka kita
diperintahkan untuk belajar agar kita berilmu. Bukan masalah pintar dan
bodoh, ketika ikhtiar dibarengi usaha, dilengkapi dengan tawakal insya
Allah kita akan mendapat yang terbaik. Bukankan yang dinilai Allah
adalah usaha kita? J.
Dan yang perlu kita ingat bahwasanya terbaik menurut kita belum tentu
terbaik menurut Allah, namun yang terbaik menurut Allah sudah tentu baik
untuk kita, insya Allah, hikmah itu akan kita dapat seiring berjalannya
waktu.
STAN
bukanlah satu-satunya jalan untuk menggapai kesuksesan, namun bisa jadi
kesuksesan kita salah satu jalannya adalah harus melalui STAN. Allah
pasti akan memberikan yang pas untuk kita, kalau memang ternyata kita
pas di STAN, insya Allah dengan perjuangan dan doa yang kita laksanakan,
Allah akan mengabulkannya, namun ketika memang ada jalan lain yang
lebih pas, itulah yang lebih baik untuk kita. Semoga dengan menyertakan
Allah dalam setiap rencana baik kita, Allah akan menyertakan kita dan
menyediakan yang terbaik dalam setiap rencana Nya.
(http://www.siap-stan.com/2013/11/kisah-motivasi-masuk-stan.html)
(http://www.siap-stan.com/2013/11/kisah-motivasi-masuk-stan.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar