Jika
orang mengatakan “experience is the best teacher”, maka pengalamanku
September ini adalah mahagurunya. Berawal dari sebuah rencana ekspedisi
pendakian ke luar negeri yaitu Mount. Elbrus di Russia oleh organisasi
pecinta alam STAN, STAPALA. Mulai dari persiapan pencarian dana,
seleksi calon atlet, perijinan dll, akhirnya berangkatlah empat orang
pemuda yang telah ditempa selama berbulan-bulan. Saya , Prabu Kusuma
a.k.a Kus-Kus, Frassetto Dahniel a.k.a Gaek, dan yang paling muda Hifzil
Lahuda a.k.a Ijil.
Pada
tanggal keberangkatan diadakan upacara pelepasan atlet sebelum menuju
Bandara Soetta. Upacara yang sederhana namun cukup membuat saya merasa
menjadi harapan banyak orang. Dihadiri oleh teman-teman STAPALA, salah
satu orang tua atlet, beberapa senior dan tentu saja pelatih kami, Bang
Rachmad. Setelah sambutan demi sambutan selesai, kami berangkat. Tiga
mobil penuh dengan teman-teman ikut mengantar sampai bandara. Sekali
lagi, detik-detik menjelang boarding, jabat tangan, pelukan erat
teman-teman dan tepukan melayang ke pundak kami. Kalimat-kalimat
motivasi terlontar dari mulut mereka sambil melambaikan tangan. Sampai
ketemu 12 hari lagi
Minggu,
04 September 2011 dini hari ,kami take off, terbang menggunakan pesawat
Fly Emirates seat kelas ekonomi menuju Moscow. Inilah kali pertama
saya naik pesawat, ternyata enak juga ya terbang hehe… Setelah menempuh
perjalanan selama delapan jam, kami transit di bandara Dubai. Bandara
yang katanya mewah ini memang benar adanya. Bisa dibilang ini bukan
bandara, tapi mal yang super duper besar. Barang-barang merk
internasional ada disini, pun dengan kulinernya, mulai dari masakan
orang item, orang mancung, orang geleng-geleng, hingga orang sipitpun
ada. Oh iya, kami sempat lihat Timnas senior Indonesia sedang makan di
salah satu restoran bandara. Mereka juga transit di Dubai usai laga
tandang di Iran
Setelah
makan di restoran yang disediakan maskapai, kami menuju gate untuk
penerbangan ke Moscow. Perjalanan ke Moscow tidak sepanjang perjalanan
dari Jakarta-Dubai, hanya lima jam. Di pesawat kedua ini saya beruntung
bisa duduk di pinggir dekat jendela. Dari atas melihat pemandangan bawah
hanya hamparan padang pasir yang luas. Mungkin inilah yang di sebut
gurun di jazirah Arab. Terkadang ada juga oase dengan danau-danau kecil
yang pastinya tidak jauh dari tempat itu terdapat pemukiman kecil.
Pemandangan kondisi alam mulai berubah satu jam menjelang landing. Kami
hampir sampai di Дomoдэдoвo аэропорт (Bandara Domodedovo), satu dari
empat Bandara yang ada di Moscow atau Moskwa
Pukul
15.00 (selisih tiga jam dari WIB) waktu Russia kami tiba di bandara
Domodedovo. Melihat sekeliling, bule semua. Tapi ceweknya cantik-cantik
euy. Orang-orang Rusia itu bule tapi kulitnya bersih, nggak kayak bule
Amrik atau Australia yang putih tapi ada flek kemerah-merahan atau
kecoklat-coklatan. Katanya sih bangsa Rusia masih ada pencampuran dengan
Asia. Tapi logis juga mengingat wilayah Russia sebenarnya ada di
dataran Asia
Di
bandara, kami sudah dijemput oleh sopir taksi yang akan membawa kami ke
hostel tempat kami menginap malam itu. Sebelumnya kami membeli tiket
dulu untuk penerbangan ke Mineralnye Vody, di Pyatigorsk kota terdekat
dengan lokasi mount Elbrus. Saat membeli tiket, kami mengalami
kesulitan, karena semua petugas bandara di situ tidak ada yang bisa
bahasa Inggris. Butuh waktu yang sangat lama untuk transaksi, sementara
sopir taksi juga sudah mulai mencak-mencak dengan bahasa Russia karena
kelamaan nunggu. Bahkan karyawan hostel mengancam akan membatalkan
pesanan kami yang tentu saja mengharuskan membayar charge kompensasi
pembatalan. Hampir satu jam saya dan Ijil menunggu Mas Kus2 dan Gaek
membeli tiket. Kemudian diterima lagi telpon dari karyawan hostel,
mereka memberi kami waktu. Jika dalam 15 menit kami belum berangkat dari
bandara, maka pesanan kamar hostel batal dan kami wajib membayar double
charge, untuk pesanan kamar dan taksi. Segera saya menyusul mereka
berdua. Begitu ketemu mereka di loket, untunglah transaksi hampir
selesai, jadi pesanan kamar hostel nggak jadi dibatalkan. Tapi sial juga
karena ternyata mereka menggunakan jasa translator untuk membantu
transaksi. Jadi ada pengeluaran ekstra untuk membayar jasa sang
translator sebesar 500 rubel, setara dengan 150.00 rupiah. Sama aja kami
tetap keluar uang lebih. Meskipun kami nggak mencari penginapan lain,
karena nggak jadi membatalkan pesanan kamar hostel.
Perjalanan
menuju hostel membutuhkan waktu dua jam, itu kalau nggak macet.
Iseng-iseng saya berkenalan dengan Pak Sopirnya menggunakan bahasa
Rusia, tentunya sambil membawa buku percakapan. Pak Aleksis namanya,
badannya gede, kumis tebal, serem banget, apalagi inget waktu
marah-marah di Bandara. Sampai di hostel kami check in dan mendapat
kamar di lantai lima, yang model-model kamarnya kayak bangsal tentara.
Bed bertingkat, dalam satu ruangan ada 8 bed. Ruangan itu cuma berisi
kami berempat dan satu orang dari Belgia bernama Mr. Lux seorang lawyer
yang hobi melancong ke luar negeri. Setelah matahari tenggelam pukul
20.00, kami semua tidur setelah sebelumnya latihan pernafasan
Agenda
kami keesokan harinya, 5 September 2011, adalah melanjutkan perjalanan
ke Pyatigorsk. Tapi sebelumnya kami sempatkan ke kantor KBRI yang
lokasinya jauh jika dari permukaan Bumi tapi dekat kalau dari bawah
tanah. Artinya, kalau kami naik bis, angkot atau semacamnya mungkin akan
lama, tapi di Rusia ada yang namanya Metro, yaitu kereta bawah tanah
yang wuussh,, melaju super cepat. Kami tidak mengalami kesulitan yang
berarti untuk menuju ke kantor KBRI , buku panduan jalan-jalan di Moscow
sangat ampuh memandu perjalanan kami.
Kantor
kedutaan cukup besar, dengan bangunan ala Eropa. Di Gedung itu kami di
sambut oleh Pak Enjai, Bu Ela dan Pak Aji Surya, beliau-beliau ini
adalah orang-orang yang telah kami kenal sebelumnya melalui jejaring
sosial dalam rangka mencari info perjalanan di Moscow. Mereka
meyampaikan apresiasi atas kedatangan kami karena katanya kami tidak
banyak merepotkan atau kebanyakan tanya untuk mencapai lokasi KBRI. “ya
harusnya begitu, masak di gunung yang nggak ada orang aja berani, di
kota yang banyak orang susah mencapai sini” kata Bu Ella. Dari
kata-katanya mengindikasikan tamu-tamu sebelumnya mungkin mengalami
kesulitan untuk ke sana ke mari ke tempat-tempat tertentu di Moscow.
Sebelum pulang, kami sempat diajari cara isi pulsa di sana. Di sana
tidak ada counter, untuk isi pulsa cukup mengisi di mesin seperti mesin
ATM yang banyak terdapat di pinggir jalan. Oh iya, kami di sana nggak
beli lho sim cardnya, kami di kasih orang yang berasal dari Sudan yang
kami temui di dapur hostel paginya.
Alhamdulillah yah
Pukul
12.00 kami harus check out, kalau tidak lagi-lagi kami berhadapan
dengan yang namanya biaya tambahan. Keluar dari stasiun metro terdekat
dari hostel, saya dan Gaek lari sprint agar bisa sampai hostel dan check
out, waktu menunjukkan pukul 11.50. pukul 12.04 saya dan Gaek sampai di
meja resepsionis. Untunglah kami nggak kena charge atau penalty dalam
istilah lomba orienteering. Setelah packing kami menunggu taksi yang
akan mengantar kami ke Bandara Vnukovo. Lagi-lagi kami diantar oleh Pak
Aleksis si perokok berat. Di bandara kami harus menunggu lama sekali
sampai boarding. Tapi tak apalah, di sana menunggu itu artinya
observasi, alias cuci mata.
Pukul
18.00 take off menggunakan pesawat kecil MTV, dua pramugari terlalu
kurus dan terlalu gemuk dengan kursi yang sempit dan penumpang lain
diseat belakang yang reseh. Entah kenapa kursi yang saya duduki itu
rusak, disandarin pasti terus-terusan ambruk ke belakang. Pengen sekali
rasanya cepat-cepat mendarat, pesawatnya berisik sekali, isinya hampir
semuanya manula.
Begitu
mendarat di Mineralnye Vody, di pintu keluar kami disambut ucapan
Assalamu’alaikum oleh seorang driver dari Alpindustriya, agen perjalanan
pendakian kami. Tujuan berikutnya adalah toko peralatan mendaki yang
ada di Kota Pyatigosk, di sana kami juga sudah ditunggu oleh manajer
dari agen perjalanan, Mrs. Victoria. Di toko outdoor Splav kami menyewa
peralatan seperti doubleboots, crampon, ice axe, skipole dll. Beberapa
peralatan yang seharusnya menurut informasi bisa kami sewa, ternyata
harus membeli, mereka tidak menyewakan. Akhirnya kami merogoh kocek
lebih dalam untuk membeli sunglasses, headlamp dan goggles. Setelah
semua peralatan dipastikan beres dan lengkap, kami menuju hotel untuk
menginap malam ini. Perjalanan menuju basecamp Mt. Elbrus masih ratusan
kilometer dari Pyatigorsk.
6
September 2011, pagi ini adalah pagi yang istimewa, breakfast yang
disediakan pihak hotel ada nasinya, hmm… di tambah ayam yang mirip-mirip
seperti opor. Dah cukup. Nasi dan empat potong ayam pasti mengenyangkan
perut kami. Pukul 08.00 kami sudah bersiap menuju Emmanuel Glade,
basecamp 1 pendakian Mt. Elbrus jalur utara. Pak Dimitri, supir kami,
sudah menunggu dengan pakaian ala militer dan mobil Toyota yang
model-modelnya mobil medan berat. Saat pak Dimitri menata barang kami di
mobil, kami di tunjukkan penampakan Mt. Elbrus dari kejauhan. Waow,
gunung yang selama ini hanya bisa kami lihat di gambar sekarang sungguh
nyata. Sudah tidak sabar rasanya ingin berjalan di atas salju. Mari kami
berangkat. Oops, buka pintu depan ternyata stir ada di kanan, udah
kebiasaan nih di Eropa anggapannya semua stir mobil ada di sebelah kiri.
Benar
sekali, sesuai dugaan setelah menjauhi kota dan jalanan sudah tidak
beraspal, para penduduk disitu mayoritas peternak domba. Banyak sekali
domba yang gemuk-gemuk. Senang sekali melihatnya. Padang rumput yang
luas nan hijau menjadi surga bagi para penggembala. Domba dan kuda yang
sedang asyik makan rumput tidak merasa terganggu dengan kehadiran mobil
semi offroad kami.
Dua
puncak gunung Elbrus mulai kelihatan secara keseluruhan. Cantik sekali,
sungguh luar biasa besar, jauh lebih besar dari gunung-gunung tropis
yang selama ini saya daki. Saljunya berkilauan memantulkan sinar
matahari. Awan tipis bagai kapas sesekali membelai puncak kembar itu.
Melihat kami kegirangan takjub melihat indahnya Elbrus, Pak Dimitri
sengaja berhenti dengan maksud agar kami sejenak menikmati Elbrus. Jadi
mengingatkan jeep yang sengaja berhenti di Bantengan, Bromo dalam
perjalanan ke Ranupani.
Setelah
menyebrang gletser, kami sampai di Emmanuel Glade, di sana banyak
sekali camp-camp para pendaki dari beberapa agen perjalanan. Mata saya
tertuju pada seekor hewan yang di tambatkan tidak jauh dari area camp.
Dari bentuk tubuhnya mirip sapi, namun agak besar sedikit. Berambut
tebal di sekujur tubuhnya. Ya, itulah yang namanya Yak, nama hewan itu
mirip seperti nama guru saya SMA, Bapak Yak Darmono. Ketika keluar dari
mobil, brrr…alamaak dinginnya. Ketinggian 2500 meter sudah sedingin ini.
Kami langsung disambut oleh para guide kami, Daniel, Ramon, dan satu
cewek sebagai koki kami di perjalanan nanti, namanya Ana. Semuanya masih
muda, tampangnya friendly sayangnya hanya Ana yang bisa lancar
berbahasa Inggris, yang lain cuma sedikit-sedikit bisa.
Siang
itu kami makan sup tomat, enak sekali masakan Bu Liana, juru masak di
basecamp. Usai makan kami briefing untuk perjalanan besok menuju Second
Basecamp kemudian kami disuruh jalan-jalan di sekamiran camp. Kamipun
langsung menuju sungai gletser, ingin tahu bagaimana dinginnya air dari
es yang mencair itu. Ternyata celup sedikit aja jari-jari ini rasanya
beku, tapi kalau diminum segar rasanya. Tiba-tiba ada dua pria bule
telanjang langsung mencebur di sungai itu. Gile nih bule, pasti
tulangnya kerasa ditusuk-tusuk. Benar saja, si Bugil langsung naik
menggigil, tapi tak berapa lama dia mencebur lagi. Dasar wong edan.
Malam
ini kami makan nggak tau apa namanya, tapi masih bersahabat di lidah
kami. Habis makan kami briefing lagi, besok pukul 08.00 kami start jalan
menuju second basecamp. Kami semua tidur di dalam satu tenda. Tengah
malam saya kebelet pipis, thermometer menunjukkan angka minus dua, embun
yang menempel di rerumputan menjadi es, bahkan di tenda kami pun juga.
7
September 2011, pagi hari sarapan sudah siap, dan snack untuk kami bawa
nanti juga sudah terbungkus rapi. Usai pemanasan kami berangkat, beban
yang kami bawa rata-rata 20 kg per orang. Menuju second basecamp jalur
masih berupa tanah dan batuan. Tidak ada pohon sama sekali, hanya
tanaman merambat dan rerumputan. Sepatu yang kami pakai masih sepatu
trekking biasa. Setelah melewati dua bukit terjal, kami sampai di padang
yang luas, saya lupa apa sebutan untuk daerah itu. Katanya di sini
adalah lokasi latihan prajurit Uni Sovyet ketika Perang Dunia. Di
kejauhan juga terlihat ada tebing yang memang tampak seperti patah,
itupun katanya dulu karena di bom oleh tentara Jerman. Tampaknya memang
orang-orang Rusia paham betul dengan sejarah negaranya.
Medan
selanjutnya lebih menantang dari pada empat jam pertama. Jalur lebih
terjal dan udara terasa dingin walaupun matahari begitu terik. Namun di
jalur inilah kali pertama saya melihat yang namanya salju. Salju masih
belum banyak, hanya ada beberapa di pinggiran jalur. Salju yang pertama
saya lihat langsung saya genggam, lalu saya injak-injak jadi berantakan.
Hahaha, senang rasanya, kemudian setiap kali ketemu salju, saya
tusuk-tusuk memakai skypole, atau terkadang membuat tulisan di atasnya.
Kalau saya terkesan di jalur ini berbeda dengan Mas Kus-Kus dan Ijil.
Jalur inilah yang membuat Mas Kus-Kus mengalami kram di betis kanannya ,
kemudian barangnya di bawa Ramon yang memang menjemput kami yang
kelelahan setelah dia sampai duluan di 2nd Basecamp. Ijil juga ngedrop,
saya menjemput dan membantu membawakan barang-barangnya meskipun jarak
tempuhnya tinggal 15 menit.
Inilah
yang disebut basecamp dua, berada di ketinggian 3.800 mdpl. Jika kami
mengambil batu lalu kami lempar ke arah selatan, batu itu akan mendarat
di hamparan salju putih yang menjulang ke atas hingga ke puncak kembar
Elbrus yang cantik. Disinilah perbatasan antara tanah berbatu dengan
hamparan salju abadi. Disini terdapat beberapa tenda dan dua box bekas
muatan truk sedang sebagai bunker. Tenda tempat kami tidur terbagi
menjadi dua, satu tenda untuk dua orang, sedangkan guide kami tidur di
tenda yang bersebelahan dengan tenda dapur yang besar.
Saat
makan siang kami briefing lagi mengenai agenda besok di hari Kamis,
yaitu aklimatisasi ke Lenz Rock di ketinggian 4600 mdpl. Kami di
sarankan untuk istirahat cukup, padahal saya ingin sekali membuat boneka
salju seperti di film-film itu. Kami juga sempat tanya bagaimana dengan
performa kami di perjalanan tadi. Mereka bilang kami berjalan lambat.
Menempuh enam jam itu sudah termasuk lama, normalnya mereka bilang tiga
jam. Pikir saya nggak mungkin tiga jam, mungkin tiga jam untuk ukuran
guide atau mungkin saja bagi pendaki biasa karena mereka menggunakan
jasa porter.
Malam
ini usai makan kami langsung tidur, saya setenda dengan mas Kus-Kus,
Gaek dengan Ijil, bisa di bilang Jawa dan Sumatera tendanya terpisah.
Pokoknya malam ini berusaha jangan sampai kebelet pipis lagi, pasti
dingin sekali malamnya. Kami tidur sudah memakai downjacket dan kaos
kaki tebal serta balaclava. Tapi malam ini saya tetap terbangun untuk
buang hajat, Brrr..dingin sekali di luar, buru-buru masuk tenda lagi dan
tidur.
8
September 2011, cuaca sangat cerah, langit biru sama sekali tidak ada
awan dan yang paling menggembirakan tidak ada angin yang berhembus.
Sebagai energi untuk perjalanan kami sarapan sereal gandum coklat dengan
susu yang sudah agak dingin. Pukul 08.00 kami start jalan. Memakai
doubleboots dan crampon, seperti yang sudah diajarkan sehari sebelumnya.
Tak lupa juga memakai harness dan memasang carabiner, nanti di jalur
yang terjal kami akan moving together.
“Okay
guys, go up and step slowly” kata Daniel, guide utama kami. Kami mulai
melangkah. Crak, crak, bunyi crampon ketika menginjak es yang keras.
Terkadang saya menginjak salju yang lembut, terkadang juga perlu tenaga
untuk menancapkan crampon bila bertemu batu es. Kami berjalan di jalur
setapak, penandanya adalah jejak pendaki lain yang telah melewati jalur
ini sebelumnya. Selain itu ada juga penanda berupa bekas rangka fiber
yang di tancapkan di kiri atau kanan jalur. Tidak begitu susah berjalan
di atas es, namun cukup menguras tenaga. Tangan juga harus bekerja
untuk memantapkan langkah kami menggunakan skipole.
Setelah
berjalan sekamir satu jam, kami mulai memasang tali untuk moving
together, yaitu berjalan menggunakan tali yang saling terpasang satu
sama lain. Ini berguna apabila salah satu jatuh, maka yang lain menjadi
backup dan menahan agar yang jatuh tidak meluncur ke bawah. Saat Daniel
memasang simpul di harness saya dia menunjuk ke sebelah kanan, “that’s
cravase” begitu katanya sambil menunjuk sebuah cekungan salju sekamir 15
meter dari jalur. Mungkin inilah mengapa kami mulai berjalan moving
together selain jalur yang memang mulai menanjak.
Baru
beberapa menit berjalan, Ijil yang berada di urutan kedua dari belakang
tiba-tiba berhenti. Dia mengeluh kepalanya pusing, tampaknya dia
terkena gejala mountain sickness. Lalu katanya dia masih sanggup,
setelah minum air hangat, kami mulai melangkah lagi. Lagi-lagi Ijil
berhenti dan berulang-ulang beberapa kali sehingga diputuskan agar dia
berhenti dan menunggu. Kami berempat melanjutkan perjalanan dan berhenti
di batu pertama sebelum Lenz rock. Kurang sedikit, sekamir 100 meter
dari Lenz Rock. Kamipun turun dan Ijil tampaknya masih pusing,
sesampainya di 2nd basecamp dia muntah-muntah. Kemudian dia tidur tanpa
makan siang, karena memang sudah tidak ada selera makan. Kami semua juga
tidur siang saat itu karena kelelahan
Pukul
5 sore saya bangun karena kegerahan di dalam tenda. Keluar tenda saya
bertemu rombongan pendaki yang baru datang. Mereka berdelapan, dua
diantara mereka dari South Africa bernama Elsa dan satunya lagi dari
England, Max. Kami ngobrol dan mereka bilang sangat senang bisa bertemu
dengan kami, orang yang bisa ngomong pake Inggris, hehe.. bukan bisa
berbahasa Inggris karena saya can’t speak English well. Mereka mengaku
kesulitan berkomunikasi dengan guide dan anggota rombongan lainnnya yang
dari Rusia. Setelah ngobrol panjang Saya dan Mas Kus-Kus diajak foto
bersama mereka.
Malam
ini cuaca agak berangin, padahal besok dini hari kami memulai summit
attack, saat-saat yang ditunggu. Ini angin malah bikin galau, di saat
usai dinner kami briefing tentang summit attack. Diputuskan Ijil tidak
ikut karena kondisinya tidak memungkinkan. Apabila dia naik, kemungkinan
besar akan mengalami hal yang sama dengan hari ketika aklimatisasi dan
itu akan merugikan tim, karena guide dan assistant guide diperlukan
sampai ke puncak. Apabila ada yang drop kami akan kehilangan salah satu
guide. Dalam briefing itu juga akan ada kemungkinan pemisahan tim.
Maksudnya apabila ada yang kurang bagus kondisinya akan di bawa ke
puncak Timur, ditemani Ramon, sang assistant. Sedangkan yang masih fit
pastinya akan di bawa ke puncak Barat, puncak tertinggi. Okay, kami
semua deal dengan rencana itu, dan satu hal lagi, kami meminta agar
telepon satelit dibawa. Kami akan menelpon teman-teman di Indonesia di
Puncak nanti. Mantap gan..
Hari
ini adalah hari Jumat 9 September 2011, saya tidak akan solat jumat
hari ini. hehe.. Dini hari pukul 03.30 kami dibangunkan Ana. Langsung
saya bersiap menuju tenda dapur. Pagi itu sarapan sedikit pasta karena
bentuk dan aromanya bikin eneg, sebagai tambahan saya minum tiga bungkus
sereal. Angin pagi ini masih seperti malamnya, lumayan kenceng. Saya
agak khawatir cuaca hari ini akan buruk. Tapi kata Ana, angin akan
berhenti saat matahari terbit. Oh yaudah, hati jadi tenteram, nggak
sabar lagi ingin menjamah puncak Elbrus. Kondisi badan fit, kepala yang
kemarin agak pusing juga sudah hilang. Namun pagi itu dinginnya ampun,
saya yang sudah pake windbreaker akhirnya dilapisi downjacket juga.
Tepat
pukul 05.00 kami mulai attack, angin yang berhembus dari sebelah kanan
langsung membuat kuping menjadi kaku sebelah. Kami berjalan perlahan
menyusuri berkas sinar headlamp. Jalur yang sehari sebelumnya terlihat
jelas karena bekas jejak crampon, kini menjadi sedikit halus mulus
tertutup salju yang terbang terbawa angin. Daniel menjadi navigator di
depan. Saya, mas Kus-kus, Gaek dan posisi ekor sebagai sweeper Ramon.
Perlahan dari arah timur remang fajar perlahan mulai tampak. Ketika
matahari terbit ternyata angin masih tetap berhembus. Semakin ke atas
angin terasa semakin kencang, dari arah Timur terlihat hamparan es yang
terkena sinar sang surya tampak seperti berasap. Kami sudah berjalan
hampir dua jam, dan belum sekalipun istirahat. Saya merasakan haus dan
kaos yang saya pakai terasa basah karena keringat. Berharap sebentar
lagi berhenti memasang tali untuk moving together.
Akhirnya
kami berhenti untuk yang pertama kali. Saya langsung membuka termos,
minum air hangat, yang lain juga. Apes buat si Gaek, termos yang dia
keluarkan jatuh dan meluncuncur ke bawah. Apesnya lagi disusul goggle
yang dia lepas saat akan memakai balaclava dobel ikutan meluncur.
Wassalam, dia sekarang pakai sunglasses, sebagian mukanya terbuka dan
pasti akan kedinginan karena kamasukan salju yang terbang. Kami
melanjutkan perjalanan dan sudah melewati tempat memasang tali. Entah
kenapa Daniel tidak menginstruksikan untuk moving together, mungkin agar
langkah kami bisa lebih cepat.
Batu
pertama di area Lenz Rock, kami istirahat lagi di sini. Angin semakin
menjadi, skipole yang saya tancapkan ketika istirahat pun ambruk. Di
sinilah saya merasakan stamina mulai turun. Langkah kaki terasa berat
karena melawan laju angin yang turun ke bawah. Bongkahan salju sebesar
kepalan tangan juga berjatuhan dari balik batuan di situ. Rasanya berat
melangkah, nafas mulai berantakan. Urutan saya menjadi yang paling
belakang. Sesampainya di batu yang paling besar, saya mulai pesimis
dengan pencapaian puncak. Angin sudah dikategorikan badai. Angin yang
bercampur salju ini akan berputar-putar dan bergulung-gulung ketika
menerjang batu besar. Ngeri saya melihatnya. Tapi langkah teman-teman di
depan membuat saya tidak boleh berhenti. Ketika sampai di pertigaan
jalur ke puncak Timur dan Barat saya berhenti lagi. tampaknya para guide
kami ini akan membawa kami ke puncak Timur. Saya semakin jatuh
mentalnya. Pikir saya, melanjutkan perjalanan pun tetap tidak akan
sampai di puncak tertinggi. Semua bendera dan atribut yang akan kami
kibarkan di puncak ada di ransel saya. Sungguh membuat konsentrasi
langkah saya menjadi kacau. Beban dalam pikiran di tambah perut yang
mulai terasa mual membuat saya sering-sering berhenti.
Sesampainya
di batuan terakhir sebelum puncak timur, saya melihat mas Kus-Kus
seperti sedang mendapat penanganan dari Daniel dan Ramon. Tidak beberapa
lama kemudian Ramon turun dan menghampiri saya . Sebelum sampai di
hadapan saya, seraya menunjuk ke arah puncak Barat, saya mengajak Ramon,
berdua menuju puncak Barat. Tapi dia tidak mau dan segera menggandeng
saya untuk turun .”we must go down now, storm is dangerious” kurang
lebih begitu yang dia katakan. Sebelum kami melangkah, Mas Kus-Kus
dengan Daniel dari arah belakang turun dengan cepat. Tangan Mas Kus-Kus
terlihat memakai glove yang di bawa oleh guide kami, jadi dia memakai
glove dua. Saya semakin panik melihat keadaan itu. Semoga tidak terjadi
apa-apa dengan jari-jari Mas Kus-Kus. Setelah itu saya menoleh belakang,
Gaek turun, tangan kanannya memegang ice axe dan tangan kirinya
skipole. Tampaknya memang gawat nih badai.
Lari
pontang-panting saya turun digandeng Ramon yang berbadan gorilla.
Terkadang hampir keseleo karena susah lari turun menggunakan crampo.
Lapisan salju di jalur es juga lebih tebal daripada saat naik. Saya
sering-sering berhenti karena badan terasa sudah lemas, nafas cepat
habis. Saya mulai khawatir dengan gaek yang berjalan tanpa di kawal,
tapi ini akan lebih baik melihat kondisi dia yang paling prima saat itu.
Di tengah amukan badai itu, kami disusul dua pendaki yang baru saja
turun dari puncak Barat. Mereka sepertinya sudah terbiasa mendaki
Elbrus, terlihat ketika mereka ngobrol akrab dengan Ramon. Lari,
berhenti, lari lagi dan berhenti lama itu yang terjadi saat saya turun.
Bahkan saya sempat terttidur saat berhenti. Camp kami masih terlihat
jauh dan samara-samar karena tertutup badai salju.
Beberapa
puluh meter sebelum sampai camp saya merasa lega. Bersyukur tidak
terjadi apa-apa dengan kami. Selama saya mendaki, tidak pernah saya
mengalami badai yang sedahsyat ini. Di camp kami, badai sudah tidak
terlalu kencang. Kalau melihat ke atas, hamparan es tampak seperti
berasap. Cantiknya puncak yang selama ini terlihat tertutup awan.
Sesampainya di depan tenda, barulah saya merasa jari-jari kaki saya
perih semua. Saya meminta tolong Ijil membukakan sepatu. Kaget bukan
main, kaki saya kiri dan kanan sudah berlumuran darah. Pasti ini bagian
kuku yang saat turun tadi menahan saat lari. Desakan dengan sepatu
mengakibatkan bagian dalam kuku menjadi terluka. Saya tidak berani
membukanya saat itu. Dengan masih memakai harness dan pakaian saat turun
tadi, saya langsung masuk tenda dan tidur, ajakan makan siang saya
abaikan. Sebelum tidur saya sempatkan solat, dan inilah untuk kali
pertama saya solat sambil berbaring.
Tidak
berapa lama Mas Kus-Kus juga masuk ke dalam tenda, untung jari
tangannya tidak apa-apa, masih utuh dan tidak perlu dibuat tidak utuh.
Kami semua tidur sore itu. Oh iya, ada yang lupa, saya harus
memberitahukan kabar tentang kondisi ini ke teman-teman Stapala. Ijil
yang masih tampak di luar saya suruh ambil telepon satelit yang di bawa
Ramon. Saya sampaikan kabar ini ke Indonesia, belum bisa memastikan
rencana selanjutnya, entah akan turun atau mencoba summit lagi. setelah
itu saya tidur di dalam tenda yang berisik karena bergoyang diterpa
angin.
Saat
tidur pulas, saya dibangunkan Ana, kami semua disuruh bangun. “come on
guys, you have to move to yellow tent and bring your equpiment,
everything. Now”. tampaknya memang gawat, sekeliling kami sudah salju
semua. Tenda kami meliuk-liuk ditiup badai. Segera saya dan Mas Kus-Kus
mengemasi semua peralatan dan segera di pindah ke tenda evakuasi
berwarna kuning. Saat melihat keluar, sugguh mengerikan, angin begitu
kencang, tenda dapur sudah ambruk dan semua barang kami di teras tenda
terkubur salju. Mula-mula saya membawa dua buah sleeping bag dan
beberapa peralatan yang di masukkan ke daypack. Berjalan sangan sulit
sekali, baru berdiri sebentar, badan terlontar di hantam badai. Apalagi
sambil membawa SB yang masih terbuka, jalan harus merayap meniti batu,
di tambah kaki yang terluka, sangat menyiksa sekali. Berdiri berjalan
bebas hanya akan membahayakan diri. Baru dua meter jalan, harus berhenti
menunggu badai sedikit reda walaupun cuma beberapa detik. Dilanjutkan
jalan lagi, begitu seterusnya hingga membutuhkan waktu hampir setengah
jam untuk berpindah sejauh 40-an meter.
Sampai
di depan tenda evakuasi, saya tidak tahu pintu ada si sebelah mana.
Akhirnya saya menunggu orang membuka pintu, dan saya berdiam diri di
pinggiran dengan posisi setengah sujud. Tidak berapa lama ada pria yang
menarik jaket saya dan menyeret masuk. Dengan bahasa Rusia dia
memaki-maki saya. Kemudian saya teringat saya masih harus mengambil
barang-barang yang masih di tenda. Saat akan keluar, saya didorong oleh
orang Rusia yang tadi, tampaknya dia melarang saya untuk keluar, saya
tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya saya duduk di dipan panjang di
dalam tenda itu. Ternyata Gaek dan Ijil sudah berada di situ, sudah
berbaring berselimut SB. Kemudian pintu terbuka, Mas Kus-Kus mambawa
carrier, saya bantu memasukkan. Oh, ternyata dia membawa dua, satu lagi
di bantu oleh ramon.
Di
tenda ukuran empat kali tiga meter itu, kami semua berlindung dari
badai. Bentuknya menyerupai tenda ABRI yang di pasak menggunakan tali
tambang, namun ini rangkanya terbuat dari besi, atapnya dari deklit.
Beberapa tiang disangga kayu karena posisinya hamper ambruk. Huff, saya
tidak begitu memperhatikan, berapa orang yang ada di dalam tenda ini.
Malam ini saya tidur pulas, masih menggunakan pakaian summit attack. Di
tengah-tengah lelapnya tidur, saya terbangun karena mukanya terkena
salju yang masuk tenda. Saya pakai goggle dan saya tutup muka dengan
kain baff. Sudah tidak begitu peduli dengan keadaan tenda malam itu.
Saya berharap ketika bangun keesokan harinya, badai sudah berlalu.
Bangun
tidur, ketika mata terbuka terlihat di dalam tenda memutih. Salju masuk
di mana-mana, di lantai menumpuk hampir setinggi lutut. Barang-barang
yang ditaruh di bawah kemasukan salju. Atapnya banyak yang menggembung
menampung salju. Sementara badai masih seperti kemarin, belum juga reda.
Seorang gude dari rombongan lain sedang membersihkan salju menggunakan
sekop. Kemudian beberapa orang, termasuk Mas Kus-Kus berusaha
membetulkan salah satu bagian tiang yang hampir ambruk. Tidak lama
kemudian Ana datang membawa satu termos air panas dan beberapa biskuit
untuk sarapan kita, walaupun sepertinya hari sudah agak siang. Tidak
bisa ke mana-mana, di dalam tenda kami hanya ngobrol, ngemil, tiduran,
terkadang merekam menggunakan handycam yang kami bawa.
Sekitar
pukul 12.00, Ramon datang dan mengajak kita untuk turun siang itu. Saya
tidak terlalu mempedulikannya, karena kami pikir tidak mungkin akan
turun dalam keadaan badai yang masih kencang seperti itu. Kemudian
Daniel dan Ana yang datang, tampaknya mereka serius akan mengajak kami
turun. Kemudian kami bergegas packing barang. Saya hanya membawa sedikit
barang karena kondisi kaki saya. Setelah semua beres, saya dan Mas
Kus-Kus meminta waktu sebentar untuk mencari kamera kami yang hilang.
Kemudian di tengah angin yang kencang itu Saya dan Mas Kus-Kus mengecek
kembali ke lokasi tenda kami. Semuanya sudah bersih, tidak ada
barang-barang di situ. Tenda juga sudah terbang. Kemudian kami menyusuri
lereng-lereng di daerah situ, ke arah laju angin. Kami hanya menemukan
matras, dan tenda yang sudah hancur.
Saya
di panggil Daniel untuk segera turun, kami pun semua mulai turun. Saya
masih memakai double boots ,berjalan miring perlahan agar jari-jari kaki
tidak sakit. Setelah melewati bukit terakhir di bawah 2nd basecamp
,angin mulai reda, bahkan tidak ada sama sekali pengaruh badai, mungkin
karena sudah jauh dari tempat bersalju. Beberapa kali saya berhenti,
kaki ini rasanya perih. Setiap ada batu yang enak untuk istirahat saya
pasti berhenti. Ijil dan Gaek sudah jauh berada di depan, Mas Kus-Kus
ada di belakang , barang yang dia bawa tampaknya berat sekali.
Rasanya
jauh sekali, kami sudah berjalan sekitar empat jam, namun Emmanuel
Glade belum juga kelihatan. Sungai gletser yang besar itu pun belum
terdengar suaranya. Saya mempercepat langkah saya agar tidak kemalaman
sampai camp. Daniel, gude kami selalu menunggu kami, berusaha agar kami
tetap terpantau. Dia berjalan sambil sesekali memetik buah-buah kecil
sebangsa arbei yang banyak tumbuh di sepanjang jalur. Sebentar lagi kami
akan sampai di camp, sungai gletser sudah terlihat dengan air berwarna
coklat. Mungkin karena pengaruh badai, air sungai pun menjadi keruh.
Hati saya mulai lega, saya percepat langkah. Sebentar lagi akan sampai.
Pukul
07.00, saya dan Mas Kus-Kus sampai. Gaek dan Ijil sudah satu jam lebih
dulu dari kami berdua.begitu sampai, sepatu langsung saya lepas. Di sana
langsung di sambut sup sapi, masakan Liana. Setelah makan, kami
berfoto-foto dengan semua crew pendakian. Saat itu kami belum berpikir
rencana selanjutnya, terutama saya, saya sudah tidak sanggup lagi untuk
berjalan. Teman-teman yang lain tampaknya sudah kelelahan. Guide kami
bilang bahwa badai sulit diprediksi kapan berhentinya. Sebenarnya kami
merencanakan akan mengulang lagi pendakian ,meskipun hanya satu orang.
Namun kondisi kami saat itu memang sudah tidak memungkinkan.
Dimitri,
sopir kami sudah menunggu, barang-barang sudah di masukkan semuanya.
Malam ini kami menuju Kota Pyatigorsk, menginap di hotel yang sama
seperti saat berangkat. Perjalanan selama empat jam tidak akan saya
sia-siakan untuk istirahat. Pasang sabuk pengaman, dan tidur. Selamat
tinggal Elbrus..
Terima Kasih ya Allah, kami bisa kembali dengan selamat.
до свидания….
Oleh Gokong (fb Stapala Stan)
(http://stapalastan.wordpress.com/2011/11/01/catattan-perjalanan-ekspedisi-elbrus/)
(http://stapalastan.wordpress.com/2011/11/01/catattan-perjalanan-ekspedisi-elbrus/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar