PENDAFTARAN TELAH DIBUKA, SILAHKAN KLIK MENU PENDAFTARAN! PENDAFTARAN GRATIS HINGGA 30 NOVEMBER 2014!

Senin, 22 September 2014

Catatan Perjalanan Ekspedisi Elbrus STAN 2011

Jika orang mengatakan “experience is the best teacher”, maka pengalamanku September ini adalah mahagurunya. Berawal dari sebuah rencana ekspedisi pendakian ke luar negeri yaitu Mount. Elbrus di Russia oleh organisasi pecinta alam STAN, STAPALA. Mulai dari persiapan pencarian dana,  seleksi calon atlet, perijinan dll, akhirnya berangkatlah empat orang pemuda yang telah ditempa selama berbulan-bulan. Saya , Prabu Kusuma a.k.a Kus-Kus, Frassetto Dahniel a.k.a Gaek, dan yang paling muda Hifzil Lahuda a.k.a Ijil.

Pada tanggal keberangkatan diadakan upacara pelepasan atlet sebelum menuju Bandara Soetta. Upacara yang sederhana namun cukup membuat saya merasa menjadi harapan banyak orang. Dihadiri oleh teman-teman STAPALA, salah satu orang tua atlet, beberapa senior dan tentu saja pelatih kami, Bang Rachmad. Setelah sambutan demi sambutan selesai, kami berangkat. Tiga mobil penuh dengan teman-teman ikut mengantar sampai bandara. Sekali lagi, detik-detik menjelang boarding, jabat tangan, pelukan erat teman-teman dan tepukan melayang ke pundak kami. Kalimat-kalimat motivasi terlontar dari mulut mereka sambil melambaikan tangan. Sampai ketemu 12 hari lagi

Minggu, 04 September 2011 dini hari ,kami take off, terbang menggunakan pesawat Fly Emirates seat  kelas ekonomi menuju Moscow. Inilah kali pertama saya naik pesawat, ternyata enak juga ya terbang hehe… Setelah menempuh perjalanan selama delapan jam, kami transit di bandara Dubai. Bandara yang katanya mewah ini memang benar adanya. Bisa dibilang ini bukan bandara, tapi mal yang super duper besar. Barang-barang merk internasional ada disini, pun dengan kulinernya, mulai dari masakan orang item, orang mancung, orang geleng-geleng, hingga orang sipitpun ada. Oh iya, kami sempat lihat Timnas senior Indonesia sedang makan di salah satu restoran bandara. Mereka juga transit di Dubai usai laga tandang di Iran


Setelah makan di restoran yang disediakan maskapai, kami menuju gate untuk penerbangan ke Moscow. Perjalanan ke Moscow tidak sepanjang perjalanan dari Jakarta-Dubai, hanya lima jam. Di pesawat kedua ini saya beruntung bisa duduk di pinggir dekat jendela. Dari atas melihat pemandangan bawah hanya hamparan padang pasir yang luas. Mungkin inilah yang di sebut gurun di jazirah Arab. Terkadang ada juga oase dengan danau-danau kecil yang pastinya tidak jauh dari tempat itu terdapat pemukiman kecil. Pemandangan kondisi alam mulai berubah satu jam menjelang landing. Kami hampir sampai di Дomoдэдoвo аэропорт (Bandara Domodedovo), satu dari empat Bandara yang ada di Moscow atau Moskwa

Pukul 15.00 (selisih tiga jam dari WIB) waktu Russia kami tiba di bandara Domodedovo. Melihat  sekeliling, bule semua. Tapi ceweknya cantik-cantik euy. Orang-orang Rusia itu bule tapi kulitnya bersih, nggak kayak bule Amrik atau Australia yang putih tapi ada flek kemerah-merahan atau kecoklat-coklatan. Katanya sih bangsa Rusia masih ada pencampuran dengan Asia. Tapi logis juga mengingat wilayah Russia sebenarnya ada di dataran Asia

Di bandara, kami sudah dijemput oleh sopir taksi yang akan membawa kami ke hostel tempat kami menginap malam itu. Sebelumnya kami membeli tiket dulu untuk penerbangan ke Mineralnye Vody, di Pyatigorsk kota terdekat dengan lokasi mount Elbrus. Saat membeli tiket, kami mengalami kesulitan, karena semua petugas bandara di situ tidak ada yang bisa bahasa Inggris. Butuh waktu yang sangat lama untuk transaksi, sementara sopir taksi juga sudah mulai mencak-mencak dengan bahasa Russia karena kelamaan nunggu. Bahkan karyawan hostel mengancam akan membatalkan pesanan kami yang tentu saja mengharuskan membayar charge kompensasi pembatalan. Hampir satu jam saya dan Ijil menunggu Mas Kus2 dan Gaek membeli tiket.  Kemudian diterima lagi telpon dari karyawan hostel, mereka memberi kami waktu. Jika dalam 15 menit kami belum berangkat dari bandara, maka pesanan kamar hostel batal dan kami wajib membayar double charge, untuk pesanan kamar dan taksi. Segera saya menyusul mereka berdua. Begitu ketemu mereka di loket, untunglah transaksi hampir selesai, jadi pesanan kamar hostel nggak jadi dibatalkan. Tapi sial juga karena ternyata mereka menggunakan jasa translator untuk membantu transaksi. Jadi ada pengeluaran ekstra untuk membayar jasa sang translator sebesar 500 rubel, setara dengan 150.00 rupiah. Sama aja kami tetap keluar uang lebih. Meskipun kami nggak mencari penginapan lain, karena nggak jadi membatalkan pesanan kamar hostel.

Perjalanan menuju hostel membutuhkan waktu dua jam, itu kalau nggak macet. Iseng-iseng saya berkenalan dengan Pak Sopirnya menggunakan bahasa Rusia, tentunya sambil membawa buku percakapan. Pak Aleksis namanya, badannya gede, kumis tebal, serem banget, apalagi inget waktu marah-marah di Bandara. Sampai di hostel kami check in dan mendapat kamar di lantai lima, yang model-model kamarnya kayak bangsal tentara. Bed bertingkat, dalam satu ruangan ada 8 bed. Ruangan itu cuma berisi kami berempat dan satu orang dari Belgia bernama Mr. Lux seorang lawyer yang hobi melancong ke luar negeri. Setelah matahari tenggelam pukul 20.00, kami semua tidur setelah sebelumnya latihan pernafasan

Agenda kami keesokan harinya, 5 September 2011, adalah melanjutkan perjalanan ke Pyatigorsk. Tapi sebelumnya kami sempatkan ke kantor KBRI yang lokasinya jauh jika dari permukaan Bumi tapi dekat kalau dari bawah tanah. Artinya, kalau kami naik bis, angkot atau semacamnya mungkin akan lama, tapi di Rusia ada yang namanya Metro, yaitu kereta bawah tanah yang wuussh,, melaju super cepat. Kami tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk menuju ke kantor KBRI , buku panduan jalan-jalan di Moscow sangat ampuh memandu perjalanan kami.

Kantor kedutaan cukup besar, dengan bangunan ala Eropa. Di Gedung itu kami di sambut oleh Pak Enjai, Bu Ela dan Pak Aji Surya, beliau-beliau ini adalah orang-orang yang telah kami kenal sebelumnya melalui jejaring sosial dalam rangka mencari info perjalanan di Moscow. Mereka meyampaikan apresiasi atas kedatangan kami karena katanya kami tidak banyak merepotkan atau kebanyakan tanya untuk mencapai lokasi KBRI. “ya harusnya begitu, masak di gunung yang nggak ada orang aja berani, di kota yang banyak orang susah mencapai sini” kata Bu Ella. Dari kata-katanya mengindikasikan tamu-tamu sebelumnya mungkin mengalami kesulitan untuk ke sana ke mari ke tempat-tempat tertentu di Moscow. Sebelum pulang, kami sempat diajari cara isi pulsa di sana. Di sana tidak ada counter, untuk isi pulsa cukup mengisi di mesin seperti mesin ATM yang banyak terdapat di pinggir jalan. Oh iya, kami di sana nggak beli lho sim cardnya, kami di kasih orang yang berasal dari Sudan yang kami temui di dapur hostel paginya.
Alhamdulillah yah

Pukul 12.00 kami harus check out, kalau tidak lagi-lagi kami berhadapan dengan yang namanya biaya tambahan. Keluar dari stasiun metro terdekat dari hostel, saya dan Gaek lari sprint agar bisa sampai hostel dan check out, waktu menunjukkan pukul 11.50. pukul 12.04 saya dan Gaek sampai di meja resepsionis. Untunglah kami nggak kena charge atau penalty dalam istilah lomba orienteering. Setelah packing kami menunggu taksi yang akan mengantar kami ke Bandara Vnukovo. Lagi-lagi kami diantar oleh Pak Aleksis si perokok berat. Di bandara kami harus menunggu lama sekali sampai boarding. Tapi tak apalah, di sana menunggu itu artinya observasi, alias cuci mata.

Pukul 18.00 take off menggunakan pesawat kecil MTV, dua pramugari terlalu kurus dan terlalu gemuk dengan kursi yang sempit dan penumpang lain diseat belakang yang reseh. Entah kenapa kursi yang saya duduki itu rusak, disandarin pasti terus-terusan ambruk ke belakang. Pengen sekali rasanya cepat-cepat mendarat, pesawatnya berisik sekali, isinya hampir semuanya manula.

Begitu mendarat di Mineralnye Vody, di pintu keluar kami disambut ucapan Assalamu’alaikum oleh seorang driver dari Alpindustriya, agen perjalanan pendakian kami. Tujuan berikutnya adalah toko peralatan mendaki yang ada di Kota Pyatigosk, di sana kami juga sudah ditunggu oleh manajer dari agen perjalanan, Mrs. Victoria. Di toko outdoor Splav kami menyewa peralatan seperti doubleboots, crampon, ice axe, skipole dll. Beberapa peralatan yang seharusnya menurut informasi bisa kami sewa, ternyata harus membeli, mereka tidak menyewakan. Akhirnya kami merogoh kocek lebih dalam untuk membeli sunglasses, headlamp dan goggles. Setelah semua peralatan dipastikan beres dan lengkap, kami menuju hotel untuk menginap malam ini. Perjalanan menuju basecamp Mt. Elbrus masih ratusan kilometer dari Pyatigorsk.

6 September 2011, pagi ini adalah pagi yang istimewa, breakfast yang disediakan pihak hotel ada nasinya, hmm… di tambah ayam yang mirip-mirip seperti opor. Dah cukup. Nasi dan empat potong ayam pasti mengenyangkan perut kami. Pukul 08.00 kami sudah bersiap menuju Emmanuel Glade, basecamp 1 pendakian Mt. Elbrus jalur utara. Pak Dimitri, supir kami, sudah menunggu dengan pakaian ala militer dan mobil Toyota yang model-modelnya mobil medan berat. Saat pak Dimitri menata barang kami di mobil, kami di tunjukkan penampakan Mt. Elbrus dari kejauhan. Waow, gunung yang selama ini hanya bisa kami lihat di gambar sekarang sungguh nyata. Sudah tidak sabar rasanya ingin berjalan di atas salju. Mari kami berangkat. Oops, buka pintu depan ternyata stir ada di kanan, udah kebiasaan nih di Eropa anggapannya semua stir mobil ada di sebelah kiri.

Benar sekali, sesuai dugaan setelah menjauhi kota dan jalanan sudah tidak beraspal, para penduduk disitu mayoritas peternak domba. Banyak sekali domba yang gemuk-gemuk. Senang sekali melihatnya. Padang rumput yang luas nan hijau menjadi surga bagi para penggembala. Domba dan kuda yang sedang asyik makan rumput tidak merasa terganggu dengan kehadiran mobil semi offroad kami.

Dua puncak gunung Elbrus mulai kelihatan secara keseluruhan. Cantik sekali, sungguh luar biasa besar, jauh lebih besar dari gunung-gunung tropis yang selama ini saya daki. Saljunya berkilauan memantulkan sinar matahari. Awan tipis bagai kapas sesekali membelai puncak kembar itu. Melihat kami kegirangan takjub melihat indahnya Elbrus, Pak Dimitri sengaja berhenti dengan maksud agar kami sejenak menikmati Elbrus. Jadi mengingatkan jeep yang sengaja berhenti di Bantengan, Bromo dalam perjalanan ke Ranupani.

Setelah menyebrang gletser, kami sampai di Emmanuel Glade, di sana banyak sekali camp-camp para pendaki dari beberapa agen perjalanan. Mata saya tertuju pada seekor hewan yang di tambatkan tidak jauh dari area camp. Dari bentuk tubuhnya mirip sapi, namun agak besar sedikit. Berambut tebal di sekujur tubuhnya. Ya, itulah yang namanya Yak, nama hewan itu mirip seperti nama guru saya SMA, Bapak Yak Darmono. Ketika keluar dari mobil, brrr…alamaak dinginnya. Ketinggian 2500 meter sudah sedingin ini. Kami langsung disambut oleh para guide kami, Daniel, Ramon, dan satu cewek sebagai koki kami di perjalanan nanti, namanya Ana. Semuanya masih muda, tampangnya friendly sayangnya hanya Ana  yang bisa lancar berbahasa Inggris, yang lain cuma sedikit-sedikit bisa.

Siang itu kami makan sup tomat, enak sekali masakan Bu Liana, juru masak di basecamp. Usai makan kami briefing untuk perjalanan besok menuju Second Basecamp kemudian kami disuruh jalan-jalan di sekamiran camp. Kamipun langsung menuju sungai gletser, ingin tahu bagaimana dinginnya air dari es yang mencair itu. Ternyata celup sedikit aja jari-jari ini rasanya beku, tapi kalau diminum segar rasanya. Tiba-tiba ada dua pria bule telanjang langsung mencebur di sungai itu. Gile nih bule, pasti tulangnya kerasa ditusuk-tusuk. Benar saja, si Bugil langsung naik menggigil, tapi tak berapa lama dia mencebur lagi. Dasar wong edan.

Malam ini kami makan nggak tau apa namanya, tapi masih bersahabat di lidah kami. Habis makan kami briefing lagi, besok pukul 08.00 kami start jalan menuju second basecamp. Kami semua tidur di dalam satu tenda. Tengah malam saya kebelet pipis, thermometer menunjukkan angka minus dua, embun yang menempel di rerumputan menjadi es, bahkan di tenda kami pun juga.

7 September 2011, pagi hari sarapan sudah siap, dan snack untuk kami bawa nanti juga sudah terbungkus rapi. Usai pemanasan kami berangkat, beban yang kami bawa rata-rata 20 kg per orang. Menuju second basecamp jalur masih berupa tanah dan batuan. Tidak ada pohon sama sekali, hanya tanaman merambat dan rerumputan. Sepatu yang kami pakai masih sepatu trekking biasa. Setelah melewati dua bukit terjal, kami sampai di padang yang luas, saya lupa apa sebutan untuk daerah itu. Katanya di sini adalah lokasi latihan prajurit Uni Sovyet ketika Perang Dunia. Di kejauhan juga terlihat ada tebing yang memang tampak seperti patah, itupun katanya dulu karena di bom oleh tentara Jerman. Tampaknya memang orang-orang Rusia paham betul dengan sejarah negaranya.

Medan selanjutnya lebih menantang dari pada empat jam pertama. Jalur lebih terjal dan udara terasa dingin walaupun matahari begitu terik. Namun di jalur inilah kali pertama saya melihat yang namanya salju. Salju masih belum banyak, hanya ada beberapa di pinggiran jalur. Salju yang pertama saya lihat langsung saya genggam, lalu saya injak-injak jadi berantakan. Hahaha, senang rasanya, kemudian setiap kali ketemu salju, saya tusuk-tusuk memakai skypole, atau terkadang membuat tulisan di atasnya. Kalau saya terkesan di jalur ini berbeda dengan Mas Kus-Kus dan Ijil. Jalur inilah yang membuat Mas Kus-Kus mengalami kram di betis kanannya , kemudian barangnya di bawa Ramon yang memang menjemput kami yang kelelahan setelah dia sampai duluan di 2nd Basecamp. Ijil juga ngedrop, saya menjemput dan membantu membawakan barang-barangnya meskipun jarak tempuhnya tinggal 15 menit.

Inilah yang disebut basecamp dua, berada di ketinggian 3.800 mdpl. Jika kami mengambil batu lalu kami lempar ke arah selatan, batu itu akan mendarat di hamparan salju putih yang menjulang ke atas hingga ke puncak kembar Elbrus yang cantik. Disinilah perbatasan antara tanah berbatu dengan hamparan salju abadi. Disini terdapat beberapa tenda dan dua box bekas muatan truk sedang sebagai bunker. Tenda tempat kami tidur terbagi menjadi dua, satu tenda untuk dua orang, sedangkan guide kami tidur di tenda yang bersebelahan dengan tenda dapur yang besar.

Saat makan siang kami briefing lagi mengenai agenda besok di hari Kamis, yaitu aklimatisasi ke Lenz Rock di ketinggian 4600 mdpl. Kami di sarankan untuk istirahat cukup, padahal saya ingin sekali membuat boneka salju seperti di film-film itu. Kami juga sempat tanya bagaimana dengan performa kami di perjalanan tadi. Mereka bilang kami berjalan lambat. Menempuh enam jam itu sudah termasuk lama, normalnya mereka bilang tiga jam. Pikir saya nggak mungkin tiga jam, mungkin tiga jam untuk ukuran guide atau mungkin saja bagi pendaki biasa karena mereka menggunakan jasa porter.

Malam ini usai makan kami langsung tidur, saya setenda dengan mas Kus-Kus, Gaek dengan Ijil, bisa di bilang Jawa dan Sumatera tendanya terpisah. Pokoknya malam ini berusaha jangan sampai kebelet pipis lagi, pasti dingin sekali malamnya. Kami tidur sudah memakai downjacket dan kaos kaki tebal serta balaclava. Tapi malam ini saya tetap terbangun untuk buang hajat, Brrr..dingin sekali di luar, buru-buru masuk tenda lagi dan tidur.

8 September 2011, cuaca sangat cerah, langit biru sama sekali tidak ada awan dan yang paling menggembirakan tidak ada angin yang berhembus. Sebagai energi untuk perjalanan kami sarapan sereal gandum coklat dengan susu yang sudah agak dingin. Pukul 08.00 kami start jalan. Memakai doubleboots dan crampon, seperti yang sudah diajarkan sehari sebelumnya. Tak lupa juga memakai harness dan memasang carabiner, nanti di jalur yang terjal kami akan moving together.

“Okay guys, go up and step slowly” kata Daniel, guide utama kami. Kami mulai melangkah. Crak, crak, bunyi crampon ketika menginjak es yang keras. Terkadang saya menginjak salju yang lembut, terkadang juga perlu tenaga untuk menancapkan crampon bila bertemu batu es. Kami berjalan di jalur setapak, penandanya adalah jejak pendaki lain yang telah melewati jalur ini sebelumnya. Selain itu ada juga penanda berupa bekas rangka fiber yang di tancapkan di kiri atau kanan jalur. Tidak begitu susah berjalan di atas es, namun cukup menguras tenaga. Tangan  juga harus bekerja untuk memantapkan langkah kami menggunakan skipole.

Setelah berjalan sekamir satu jam, kami mulai memasang tali untuk moving together, yaitu berjalan menggunakan tali yang saling terpasang satu sama lain. Ini berguna  apabila salah satu jatuh, maka yang lain menjadi backup dan menahan agar yang jatuh tidak meluncur ke bawah. Saat Daniel memasang simpul di harness saya dia menunjuk ke sebelah kanan, “that’s cravase” begitu katanya sambil menunjuk sebuah cekungan salju sekamir 15 meter dari jalur. Mungkin inilah mengapa kami mulai berjalan moving together selain jalur yang memang mulai menanjak.

Baru beberapa menit berjalan, Ijil yang berada di urutan kedua dari belakang tiba-tiba berhenti. Dia mengeluh kepalanya pusing, tampaknya dia terkena gejala mountain sickness. Lalu katanya dia masih sanggup, setelah minum air hangat, kami mulai melangkah lagi. Lagi-lagi Ijil berhenti dan berulang-ulang beberapa kali sehingga diputuskan agar dia berhenti dan menunggu. Kami berempat melanjutkan perjalanan dan berhenti di batu pertama sebelum Lenz rock. Kurang sedikit, sekamir 100 meter dari Lenz Rock. Kamipun turun dan Ijil tampaknya masih pusing, sesampainya di 2nd basecamp dia muntah-muntah. Kemudian dia tidur tanpa makan siang, karena memang sudah tidak ada selera makan. Kami semua juga tidur siang saat itu karena kelelahan

Pukul 5 sore saya bangun karena kegerahan di dalam tenda. Keluar tenda saya bertemu rombongan pendaki yang baru datang. Mereka berdelapan, dua diantara mereka dari South Africa bernama Elsa dan satunya lagi dari England,  Max. Kami ngobrol dan mereka bilang sangat senang bisa bertemu dengan kami, orang yang bisa ngomong pake Inggris, hehe.. bukan bisa berbahasa Inggris karena saya can’t speak English well. Mereka mengaku kesulitan berkomunikasi dengan guide dan anggota rombongan lainnnya yang dari Rusia. Setelah ngobrol panjang Saya dan Mas Kus-Kus diajak foto bersama mereka.

Malam ini cuaca agak berangin, padahal besok dini hari kami memulai summit attack, saat-saat yang ditunggu. Ini angin malah bikin galau, di saat usai dinner kami briefing tentang summit attack. Diputuskan Ijil tidak ikut karena kondisinya tidak memungkinkan. Apabila dia naik, kemungkinan besar akan mengalami hal yang sama dengan hari ketika aklimatisasi dan itu akan merugikan tim, karena guide dan assistant guide diperlukan sampai ke puncak. Apabila ada yang drop kami akan kehilangan salah satu guide. Dalam briefing itu juga akan ada kemungkinan pemisahan tim. Maksudnya apabila ada yang kurang bagus kondisinya akan di bawa ke puncak Timur, ditemani Ramon, sang assistant. Sedangkan yang masih fit pastinya akan di bawa ke puncak Barat, puncak tertinggi. Okay, kami semua deal dengan rencana itu, dan satu hal lagi, kami meminta agar telepon satelit dibawa. Kami akan menelpon teman-teman di Indonesia di Puncak nanti. Mantap gan..

Hari ini adalah hari Jumat 9 September 2011, saya tidak akan solat jumat hari ini. hehe.. Dini hari pukul 03.30 kami dibangunkan Ana. Langsung saya bersiap menuju tenda dapur. Pagi itu sarapan sedikit pasta karena bentuk dan aromanya bikin eneg, sebagai tambahan saya minum tiga bungkus sereal. Angin pagi ini masih seperti malamnya, lumayan kenceng. Saya agak khawatir cuaca hari ini akan buruk. Tapi kata Ana, angin akan berhenti saat matahari terbit. Oh yaudah, hati jadi tenteram, nggak sabar lagi ingin menjamah puncak Elbrus. Kondisi badan fit, kepala yang kemarin agak pusing juga sudah hilang.  Namun pagi itu dinginnya ampun, saya yang sudah pake windbreaker akhirnya dilapisi downjacket juga.

Tepat pukul 05.00 kami mulai attack, angin yang berhembus dari sebelah kanan langsung membuat kuping menjadi kaku sebelah. Kami berjalan perlahan menyusuri berkas sinar headlamp. Jalur yang sehari sebelumnya terlihat jelas karena bekas jejak crampon, kini menjadi sedikit halus mulus tertutup salju yang terbang terbawa angin. Daniel menjadi navigator di depan. Saya, mas Kus-kus, Gaek dan posisi ekor sebagai sweeper Ramon. Perlahan dari arah timur remang fajar perlahan mulai tampak.  Ketika matahari terbit ternyata angin masih tetap berhembus. Semakin ke atas angin terasa semakin kencang, dari arah Timur terlihat hamparan es yang terkena sinar sang surya tampak seperti berasap. Kami sudah berjalan hampir dua jam, dan belum sekalipun istirahat. Saya merasakan haus dan kaos yang saya pakai terasa basah karena keringat. Berharap sebentar lagi berhenti memasang tali untuk moving together.

Akhirnya kami berhenti untuk yang pertama kali. Saya langsung membuka termos, minum air hangat, yang lain juga. Apes buat si Gaek, termos yang dia keluarkan jatuh dan meluncuncur ke bawah. Apesnya lagi disusul goggle yang dia lepas saat akan memakai balaclava dobel ikutan meluncur. Wassalam, dia sekarang pakai sunglasses, sebagian mukanya terbuka dan pasti akan kedinginan karena kamasukan salju yang terbang. Kami melanjutkan perjalanan dan sudah melewati tempat memasang tali. Entah kenapa Daniel tidak menginstruksikan untuk moving together, mungkin agar langkah kami bisa lebih cepat.

Batu pertama di area Lenz Rock, kami istirahat lagi di sini. Angin semakin menjadi, skipole yang saya tancapkan ketika istirahat pun ambruk. Di sinilah saya merasakan stamina mulai turun. Langkah kaki terasa berat karena melawan laju angin yang turun ke bawah. Bongkahan salju sebesar kepalan tangan juga berjatuhan dari balik batuan di situ. Rasanya berat melangkah, nafas mulai berantakan. Urutan saya menjadi yang paling belakang. Sesampainya di batu yang paling besar, saya mulai pesimis dengan pencapaian puncak. Angin sudah dikategorikan badai. Angin yang bercampur salju ini akan berputar-putar dan bergulung-gulung ketika menerjang batu besar. Ngeri saya melihatnya. Tapi langkah teman-teman di depan membuat saya tidak boleh berhenti. Ketika sampai di pertigaan jalur ke puncak Timur dan Barat saya berhenti lagi. tampaknya para guide kami ini akan membawa kami ke puncak Timur. Saya semakin jatuh mentalnya. Pikir saya, melanjutkan perjalanan pun tetap tidak akan sampai di puncak tertinggi. Semua bendera dan atribut yang akan kami kibarkan di puncak ada di ransel saya. Sungguh membuat konsentrasi langkah saya menjadi kacau. Beban dalam pikiran di tambah perut yang mulai terasa mual membuat saya sering-sering berhenti.

Sesampainya di batuan terakhir sebelum puncak timur, saya melihat mas Kus-Kus seperti sedang mendapat penanganan dari Daniel dan Ramon. Tidak beberapa lama kemudian Ramon turun dan menghampiri saya . Sebelum sampai di hadapan saya, seraya menunjuk ke arah puncak Barat, saya mengajak Ramon, berdua menuju puncak Barat. Tapi dia tidak mau dan segera menggandeng saya untuk turun .”we must go down now, storm is dangerious” kurang lebih begitu yang dia katakan. Sebelum kami melangkah, Mas Kus-Kus dengan Daniel dari arah belakang turun dengan cepat. Tangan Mas Kus-Kus terlihat memakai glove yang di bawa oleh guide kami, jadi dia memakai glove dua. Saya semakin panik melihat keadaan itu. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan jari-jari Mas Kus-Kus. Setelah itu saya menoleh belakang, Gaek turun, tangan kanannya memegang ice axe dan tangan kirinya skipole. Tampaknya memang gawat nih badai.

Lari pontang-panting saya turun digandeng Ramon yang berbadan gorilla. Terkadang hampir keseleo karena susah lari turun menggunakan crampo. Lapisan salju di jalur es juga lebih tebal daripada saat naik. Saya sering-sering berhenti karena badan terasa sudah lemas, nafas cepat habis. Saya mulai khawatir dengan gaek yang berjalan tanpa di kawal, tapi ini akan lebih baik melihat kondisi dia yang paling prima saat itu. Di tengah amukan badai itu, kami disusul dua pendaki yang baru saja turun dari puncak Barat. Mereka sepertinya sudah terbiasa mendaki Elbrus, terlihat ketika mereka ngobrol akrab dengan Ramon. Lari, berhenti, lari lagi dan berhenti lama itu yang terjadi saat saya turun. Bahkan saya sempat terttidur saat berhenti. Camp kami masih terlihat jauh dan samara-samar karena tertutup badai salju.

Beberapa puluh meter sebelum sampai camp saya merasa lega. Bersyukur tidak terjadi apa-apa dengan kami. Selama saya mendaki, tidak pernah saya mengalami badai yang sedahsyat ini. Di camp kami, badai sudah tidak terlalu kencang. Kalau melihat ke atas, hamparan es tampak seperti berasap. Cantiknya puncak yang selama ini terlihat tertutup awan. Sesampainya di depan tenda, barulah saya merasa jari-jari kaki saya perih semua. Saya meminta tolong Ijil membukakan sepatu. Kaget bukan main, kaki saya kiri dan kanan sudah berlumuran darah. Pasti ini bagian kuku yang saat turun tadi menahan saat lari. Desakan dengan sepatu mengakibatkan bagian dalam kuku menjadi terluka. Saya tidak berani membukanya saat itu. Dengan masih memakai harness dan pakaian saat turun tadi, saya langsung masuk tenda dan tidur, ajakan makan siang saya abaikan. Sebelum tidur saya sempatkan solat, dan inilah untuk kali pertama saya solat sambil berbaring.

Tidak berapa lama Mas Kus-Kus juga masuk ke dalam tenda, untung jari tangannya tidak apa-apa, masih utuh dan tidak perlu dibuat tidak utuh. Kami semua tidur sore itu. Oh iya, ada yang lupa, saya harus memberitahukan kabar tentang kondisi ini ke teman-teman Stapala. Ijil yang masih tampak di luar saya suruh ambil telepon satelit yang di bawa Ramon. Saya sampaikan kabar ini ke Indonesia, belum bisa memastikan rencana selanjutnya, entah akan turun atau mencoba summit lagi. setelah itu saya tidur di dalam tenda yang berisik karena bergoyang diterpa angin.

Saat tidur pulas, saya dibangunkan Ana, kami semua disuruh bangun. “come on guys, you have to move to yellow tent and bring your equpiment, everything. Now”. tampaknya memang gawat, sekeliling kami sudah salju semua. Tenda kami meliuk-liuk ditiup badai. Segera saya dan Mas Kus-Kus mengemasi semua peralatan dan segera di pindah ke tenda evakuasi berwarna kuning. Saat melihat keluar, sugguh mengerikan, angin begitu kencang, tenda dapur sudah ambruk dan semua barang kami di teras tenda terkubur salju. Mula-mula saya membawa dua buah sleeping bag dan beberapa peralatan yang di masukkan ke daypack. Berjalan sangan sulit sekali, baru berdiri sebentar, badan terlontar di hantam badai. Apalagi sambil membawa SB yang masih terbuka, jalan harus merayap meniti batu, di tambah kaki yang terluka, sangat menyiksa sekali. Berdiri berjalan bebas hanya akan membahayakan diri. Baru dua meter jalan, harus berhenti menunggu badai sedikit reda walaupun cuma beberapa detik. Dilanjutkan jalan lagi, begitu seterusnya hingga membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk berpindah sejauh 40-an meter.

Sampai di depan tenda evakuasi, saya tidak tahu pintu ada si sebelah mana. Akhirnya saya menunggu orang membuka pintu, dan saya berdiam diri di pinggiran dengan posisi setengah sujud. Tidak berapa lama ada pria yang menarik jaket saya dan menyeret masuk. Dengan bahasa Rusia dia memaki-maki saya. Kemudian saya teringat saya masih harus mengambil barang-barang yang masih di tenda. Saat akan keluar, saya didorong oleh orang Rusia yang tadi, tampaknya dia melarang saya untuk keluar, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya saya duduk di dipan panjang di dalam tenda itu. Ternyata Gaek dan Ijil sudah berada di situ, sudah berbaring berselimut SB. Kemudian pintu terbuka, Mas Kus-Kus mambawa carrier, saya bantu memasukkan. Oh, ternyata dia membawa dua, satu lagi di bantu oleh ramon.

Di tenda ukuran empat kali tiga meter itu, kami semua berlindung dari badai. Bentuknya menyerupai tenda ABRI yang di pasak menggunakan tali tambang, namun ini rangkanya terbuat dari besi, atapnya dari deklit. Beberapa tiang disangga kayu karena posisinya hamper ambruk. Huff, saya tidak begitu memperhatikan, berapa orang yang ada di dalam tenda ini. Malam ini saya tidur pulas, masih menggunakan pakaian summit attack. Di tengah-tengah lelapnya tidur,  saya terbangun karena mukanya terkena salju yang masuk tenda. Saya pakai goggle dan saya tutup muka dengan kain baff. Sudah tidak begitu peduli dengan keadaan tenda malam itu. Saya berharap ketika bangun keesokan harinya, badai sudah berlalu.

Bangun tidur, ketika mata terbuka terlihat di dalam tenda memutih. Salju masuk di mana-mana, di lantai menumpuk hampir setinggi lutut. Barang-barang yang ditaruh di bawah kemasukan salju. Atapnya banyak yang menggembung menampung salju. Sementara badai masih seperti kemarin, belum juga reda. Seorang gude dari rombongan lain sedang membersihkan salju menggunakan sekop. Kemudian beberapa orang, termasuk Mas Kus-Kus berusaha membetulkan salah satu bagian tiang yang hampir ambruk. Tidak lama kemudian Ana datang membawa satu termos air panas dan beberapa biskuit untuk sarapan kita, walaupun sepertinya hari sudah agak siang. Tidak bisa ke mana-mana, di dalam tenda kami hanya ngobrol, ngemil, tiduran, terkadang merekam  menggunakan handycam yang kami bawa.

Sekitar pukul 12.00, Ramon datang dan mengajak kita untuk turun siang itu. Saya tidak terlalu mempedulikannya, karena kami pikir tidak mungkin akan turun dalam keadaan badai yang masih kencang seperti itu. Kemudian Daniel dan Ana yang datang, tampaknya mereka serius akan mengajak kami turun. Kemudian kami bergegas packing barang. Saya hanya membawa sedikit barang karena kondisi kaki saya. Setelah semua beres, saya dan Mas Kus-Kus meminta waktu sebentar untuk mencari kamera kami yang hilang. Kemudian di tengah angin yang kencang itu Saya dan Mas Kus-Kus mengecek kembali ke lokasi tenda kami. Semuanya sudah bersih, tidak ada barang-barang di situ. Tenda juga sudah terbang. Kemudian kami menyusuri lereng-lereng di daerah situ, ke arah laju angin. Kami hanya menemukan matras, dan tenda yang sudah hancur.

Saya di panggil Daniel untuk segera turun, kami pun semua mulai turun. Saya masih memakai double boots ,berjalan miring perlahan agar jari-jari kaki tidak sakit. Setelah melewati bukit terakhir di bawah 2nd  basecamp ,angin mulai reda, bahkan tidak ada sama sekali pengaruh badai, mungkin karena sudah jauh dari tempat bersalju. Beberapa kali saya berhenti, kaki ini rasanya perih. Setiap ada batu yang enak untuk istirahat saya pasti berhenti. Ijil dan Gaek sudah jauh berada di depan, Mas Kus-Kus ada di belakang , barang yang dia bawa tampaknya berat sekali.

Rasanya jauh sekali, kami sudah berjalan sekitar empat jam, namun Emmanuel Glade belum juga kelihatan. Sungai gletser yang besar itu pun belum terdengar suaranya. Saya mempercepat langkah saya agar tidak kemalaman sampai camp. Daniel, gude kami selalu menunggu kami, berusaha agar kami tetap terpantau. Dia berjalan sambil sesekali memetik buah-buah kecil sebangsa arbei yang banyak tumbuh di sepanjang jalur. Sebentar lagi kami akan sampai di camp, sungai gletser sudah terlihat dengan air berwarna coklat. Mungkin karena pengaruh badai, air sungai pun menjadi keruh. Hati saya mulai lega, saya percepat langkah. Sebentar lagi akan sampai.

Pukul 07.00, saya dan Mas Kus-Kus sampai. Gaek dan Ijil sudah satu jam lebih dulu dari kami berdua.begitu sampai, sepatu langsung saya lepas. Di sana langsung di sambut sup sapi, masakan Liana. Setelah makan, kami berfoto-foto dengan semua crew pendakian. Saat itu kami belum berpikir rencana selanjutnya, terutama saya, saya sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan. Teman-teman yang lain tampaknya sudah kelelahan. Guide kami bilang bahwa badai sulit diprediksi kapan berhentinya. Sebenarnya kami merencanakan akan mengulang lagi pendakian ,meskipun hanya satu orang. Namun kondisi kami saat itu memang sudah tidak memungkinkan.

Dimitri, sopir kami sudah menunggu, barang-barang sudah di masukkan semuanya. Malam ini kami menuju Kota Pyatigorsk, menginap di hotel yang sama seperti saat berangkat. Perjalanan selama empat jam tidak akan saya sia-siakan untuk istirahat. Pasang sabuk pengaman, dan tidur. Selamat tinggal Elbrus..

Terima Kasih ya Allah, kami bisa kembali dengan selamat.
до свидания….
Oleh Gokong (fb Stapala Stan)

(http://stapalastan.wordpress.com/2011/11/01/catattan-perjalanan-ekspedisi-elbrus/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar