Pagi
sahabat semua, setelah dua hari bercengkerama dengan keluarga, kini
tiba saatnya saya menyapa dan berinteraksi dengan kompasianer semua.
Sungguh
terkejut saya akan animo masyarakat termasuk penduduk kompasiana akan
persoalan pajak ini. Tulisan-tulisan tentang pegawai pajak menghiasi
tulisan terpopuler hari dan minggu ini. Antara lain berturut-turut
berdasar waktu posting Damn! Uang Gua Dimakan (Ditilep) Orang Pajak! (kompasianer Streetlearner), Gayus Vs Tyas (Tyas Tlc), Mari Mengenal Pegawai Pajak Lebih Dekat (Lanjutan Tulisan Bung Minami) oleh Dewiwardhana, dan tadi malam Tidak Semua Orang Pajak Sebagaimana Diduga Banyak Orang
(kompasianer Abutholib). Menurut saya ini baik untuk penyeimbang dan
pencerahan bagi pembaca, tidak lantas tergiring opini media-media
terutama televisi yang kadang kurang berimbang. Namun, kita juga jangan
anti-kritik, terima kenyataan yang ada, tidak perlu lari dari tanggung
jawab.
Untuk
memahami akar permasalahan kasus tersebut, ada baiknya kita simak
ulasan berikut berdasar kisah nyata yang saya hadapi di lingkungan
keluarga kami, dan barangkali termasuk keluarga-keluarga lain mayoritas
warga Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Bagaimana
jika dua perguruan tinggi terbaik negeri ini bertemu kemudian diadu?
Bukan dalam pengertian anarkis semacam bentrokan dengan batu dan api.
Tapi dari segi prestasi dan kiprah alumninya. Yang satu merupakan
perguruan tinggi negeri (PTN) ‘sepuh’ di Indonesia, satu lagi perguruan
tinggi kedinasan (PTK) ‘bau kencur’, baru berdiri pada tahun 1967.
Pada
tulisan sebelumnya telah saya kemukakan profil singkat STAN, kini
saatnya kita menengok UI, kampus si ‘jaket kuning’ di bilangan Salemba
DKI Jakarta dan Depok Jawa Barat.
Profil Singkat Universitas Indonesia (UI)
UI berdiri pada tahun 1849
dan merupakan representasi institusi pendidikan dengan sejarah paling
tua di Asia. Telah menghasilkan lebih dari 400.000 alumni, UI secara
kontinyu melanjutkan peran pentingnya di level nasional dan dunia.
Bagaimanapun UI tidak bisa melepaskan diri dari misi terkininya menjadi
institusi pendidikan berkualitas tinggi, riset standar dunia dan menjaga
standar gengsi di sejumlah jurnal internasional nomor satu.
Dengan
predikat sebagai kampus terbaik negeri ini, UI secara aktif
mengembangkan kerja sama global dengan banyak perguruan tinggi ternama
dunia. Beberapa universitas terkemuka yang saat ini tercatat memiliki
perjanjian dengan UI diantaranya adalah : Washington University, Tokyo University, Melbourne University, Sydney University, Leiden University, Erasmus University, Kyoto University, Peking University, Tsinghua University, Australian National University, and National University of Singapore.
Selain itu, UI saat ini juga memperkuat kerjasamanya dengan beberapa asosiasi pendidikan dan riset diantaranya: APRU (Association of Pacific Rim Universities) dengan peran sebagai Board of Director, AUN (ASEAN University Network), and ASAIHL (Association of South East Asia Institution of Higher Learning).
Secara
geografis, posisi kampus UI berada di dua area berjauhan, kampus
Salemba dan kampus Depok. Mayoritas fakultas berada di Depok dengan luas
lahan mencapai 320 hektar dengan atmosfer “green campus”
karena hanya 25 persen lahan digunakan sebagai sarana akademik, riset
dan kemahasiswaan, sisanya 75 persen wilayah UI bisa dikatakan adalah
area hijau berwujud hutan kota dimana di dalamnya terdapat 8 danau alam.
Sebuah area yang menjanjikan nuansa akademik bertradisi yang tenang dan
asri.
Sumber : http://www.ui.ac.id
Saya
sendiri sudah tiga kali ke UI Depok, kebetulan kakak sulung dan adik
saya mengenyam pendidikan di sana. Dan memang begitu adanya, dalam hati
saya membatin, “Ini kampus apa hutan?” Kerindangannya
persis dengan kampus-kampus lain yang pernah saya kunjungi, seperti UGM
Yogyakarta, UNS Surakarta, dan terutama Universitas Bengkulu yang
benar-benar berada di pinggir hutan Bukit Barisan Sumatera. Begitu juga
dengan STAN, seandainya dua atau tiga tahun lalu Anda bermain ke sana,
barangkali Anda akan membatin, “Ini kampus apa ‘istana’?”
Saya
sebut ‘istana’ karena waktu saya kuliah di sana, lingkungan STAN mirip
dengan komplek Istana Merdeka. Bedanya, jika di rumah kepala negara itu
dimeriahkan kijang atau rusa, di STAN juga sangat meriah dengan adanya
kambing atau domba milik warga Betawi sekitar kampus.
Informasi
tentang kampus STAN dengan berbagai suka-dukanya telah saya ulas di
tulisan sebelumnya. Sekarang saya ingin mengajak pembaca untuk mendengar
kisah seorang mahasiswa STAN dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Namanya Elifati Zendrato. Saya ambil sebagai contoh kasus di antara ribuan mahasiswa satu almamaternya.
Saya kutip dari blog pribadinya di http://stanzendrato.blogspot.com/2009/02/betapa-bangganya-saya-masuk-stan.html
Saya
adalah putra daerah Nias yang diterima di STAN tahun 2008 jurusan
Akuntansi Pemerintahan. Untuk daerahku yang agak terpencil, STAN tidak
begitu terkenal. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) merupakan
satu-satunya perguruan tinggi yang saya idam-idamkan sejak SMP.
Kita
juga jangan berpikir kalau masuk STAN itu mudah. Bagi para lulusan SMA
diharuskan memiliki nilai rata-rata Ujian Nasional minimal 7,00 tanpa
pembulatan. Belum lagi mengikuti Ujian Saringan Masuk (USM) yang diikuti
oleh puluhan bahkan ratusan ribu pendaftar tiap tahun. Kalau Anda tidak
mau melakukannya, saya sarankan Anda tidak perlu menghabiskan uang Rp
100,000 untuk biaya pendaftaran. Masuk STAN bukanlah untung-untungan,
tetapi hasil yang murni.
Akhirnya
pada tanggal 3 September 2008, saya sudah tidak sabar untuk melihat
pengumuman. Alhamdullilah, saya diterima di STAN. Impian seorang anak
desa pun terwujud. Hari itu berbagai telepon dan sms yang masuk dari
keluarga dan teman-teman yang mengucapkan selamat saya terima.
Setelah lulus STAN apa yang harus mereka lakukan? Apakah mau seperti Gayus produk lama itu?
Berikut
penuturan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam pembekalan lulusan STAN di
Jakarta pada Selasa 10 November 2009. Saya kutip dari blog Badan
Legislatif Mahasiswa (BLM) STAN : http://mahasiswastan.wordpress.com/2009/11/12/harapan-ibu-menteri-kepada-lulusan-stan/
Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati menantang lulusan Sekolah Tinggi
Akutansi Negara (STAN) agar dapat berkompetisi dengan lulusan non-STAN
pada saat menjadi pegawai Departemen Keuangan.Dia juga meminta agar pada
saat menjadi PNS dapat menjadi sosok yang mengemban amanah. Dia
mengingatkan sejak awal melamar STAN, wisudawan seharusnya sadar dengan
komitmen yang akan mengabdi sebagai abdi negara.
“Kehadiran
saudara di lingkungan birokrasi pemerintah adalah melaksanakan
tugas-tugas pelayanan kepada publik. Itu bukan tugas yang ringan”
Menurutnya
konsekuensi menjadi PNS memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat.
Apalagi, lanjut dia, saat ini publik terus menerus berharap adanya
birokrasi pemerintah yang amanah. Saat ini harapan itu belum dinikmati
oleh publik.
Karena itu, dia berpesan agar lulusan STAN yang terjun ke dunia kerja harus bekerja ekstra keras, menjaga diri, “Tidak pernah berkompromi sedikitpun terhadap nilai-nilai yang dipegang, integritas dalam diri dan institusi,” katanya.
Seluruh
lulusan STAN harus terus menerus memperbaiki kompetensi diri sendiri.
Sri Mulyani mengaku tak puas dengan IPK rata-rata 3, dengan IPK maksimal
3,7.
Menurut
dia, itu adalah pencapaian yang bagus untuk kurikulum yang sudah di
desain bagus. Namun jika mengingat pengalaman sebagai Menkeu, pergaulan
internasional, dan tantangan bangsa ke depan, dia menganggap IPK 3,6
belumlah cukup.
Untuk
itu dia menantang lulusan STAN agar menunjukkan bahwa mempunyai
kualitas yang baik atau sama dengan lulusan perguruan tinggi terbaik
dari seluruh negeri. Tahun ini Departemen Keuangan menerima 1.200
pegawai negeri baru dari berbagai universitas. ”Jika mahasiswa STAN mempunyai IPK 3,6 namun tidak lebih baik dari mahasiswa UI dengan IPK 3,4 anda harus malu,” kata dia.
Dia
mengaku tidak rela jika apa yang ia kerjakan, menandatangani Surat
Keputusan, memberikan beasiswa, menambah anggaran, jika lulusannya kalah
dengan universitas lain. “Maka investasi pemerintah dianggap gagal,” ujarnya.
***
Berkaca dari kisah Elifati Zendrato tadi,
dapat disimpulkan semua siswa SMA kalau ditanya UI pasti tahu, namun
belum tentu dengan STAN. Saya yakin siswa dari kalangan marjinal, hampir
tidak mungkin berani mendaftar UI dengan keterbatasan ekonomi orang
tuanya. Artinya, STAN atau PTK-PTK lain adalah harapan terakhir yang
pragmatis untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Meski tidak menutup
kemungkinan kuliah di tempat lain, karena berbagai pertimbangan.
Setelah Ujian Nasional SMA usai minggu lalu, konsentrasi siswa dan orang tua selanjutnya adalah satu
dua bulan lagi (Juni dan Juli). Mereka tentu sibuk mencari pilihan
tempat kuliah yang terbaik, pengalaman yang selalu dialami setiap
lulusan SMA. Tidak terkecuali saya sembilan tahun lalu dan adik saya
pada tahun lalu.
Perkenalan
dengan STAN bagi saya hanyalah kebetulan belaka. Pada waktu itu sama
sekali tidak terbersit sedikit pun ingin kuliah di sana. Tujuan saya
pada waktu itu adalah UNS dan UI. Di kemudian hari, Allah telah menuntut
kami hingga sampai sekarang ini. Kini, kami bahagia dengan kenikmatan
yang ada, tidak pusing setelah lulus hendak ke mana. Cukup pragmatis
memang, meskipun belum mencapai kepuasan maksimal.
Begitu juga ketika adik saya –Arif namanya-
hendak mengikuti USM STAN di Gelora Bung Karno, Juli 2009 lalu. Sebelum
menuju ke lokasi, pagi-pagi saya bisikkan pesan kepada Arif untuk
santai saja dalam mengerjakan soal ujian. STAN tidak cocok untukmu. Saya
khawatir jika nantinya jadi masuk STAN, dirinya bisa dilempar ke
pelosok negeri seperti kisah Aryo dari Buntok di tulisan saya lalu.
Bagaimana jika setelah lulus nanti penempatannya ke kota yang susah
aksesnya. Sebagai kakak, cukup saya saja yang jauh dari orang tua kami
yang telah sepuh.
Untunglah,
sebelum mengikuti USM, dia telah mengantongi tiket kuliah ke UI lewat
jalur SIMAK menyingkirkan 75 ribu pendaftar lainnya. Melihat potensi
yang dimiliki si Arif cukup menjadi alasan agar dia tidak perlu masuk
STAN yang ujung-ujungnya ‘hanya’ menjadi PNS. Padahal dengan tidak
menjadi PNS, kita bisa mengeksplorasi semua kemampuan yang dimiliki
tanpa dibatasi birokrasi dan aturan yang mengikat. Bukankah kisah tokoh
besar –bukan dalam materi- tidak kita temui pada profesi Pegawai Negeri
Sipil? Kecuali hanya sekedar latar belakang, sama halnya dengan
tokoh-tokoh penting negara yang berasal dari lingkungan militer, seperti
Soeharto, SBY, Sjafrie Sjamsoeddin, dan yang lainnya.
Gampangnya,
tokoh sekelas Thomas A. Edison, Albert Einstein, Benjamin Franklin,
Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, dan Rasulullah Muhammad saw,
bukanlah berprofesi sebagai PNS meskipun mereka juga pengabdi masyarakat
dan abdi Tuhan yang mulia.
Dan,
harapan saya pada si Arif dan mungkin anak-anak sejenisnya kini mulai
menunjukkan tanda-tandanya. Sesuatu yang saya rasa susah untuk didapat
di kampus STAN, kuliah dengan tingkat stressing cukup tinggi, setiap tahun banyak yang berguguran di tengah jalan (kini IPK semester ganjil minimal 2,41 dan semester genap 2,75).
Dan benar adanya, dia memiliki komunitas sendiri yang sangat kondusif
membentuk karakter menjadi orang sukses suatu saat nanti. Mereka bisa
mandiri dengan kemampuan yang dia miliki. Bisa menjadi leader
untuk diri dan masyarakatnya serta tidak selalu menggantungkan bantuan
orang lain. Artinya, lingkungan akan membentuk watak yang sangat
berpengaruh terhadap kepribadian dan masa depannya kelak.
Tokoh
nasional sekaliber Faisal Basri adalah contohnya, apalagi dia juga satu
almamater dengan adik saya Arif dan menkeu kita Sri Mulyani. Secara
materi dia tidaklah sekaya anggota-anggota DPR yang tadinya berprofesi
sebagai sopir mobil box, tukang ojek, PNS, kiyai, pendeta, pastur, atau
apa lah itu. Namun dedikasi dan konsistensinya sebagai profesional
membuat saya terinspirasi olehnya. Menjadi sukses bukanlah kecukupan
secara materi. Saya ingat kisahnya ketika menghadiri suatu acara, Faisal
Basri datang tergopoh-gopoh karena baru saja naik ojek dan kereta
Jabodetabek. Begitu juga harapan saya kepada Arif dan pemuda-pemuda
sebayanya.
Biarlah
orang tua memiliki sebuah harapan, namun kita yang menjalaninya juga
memiliki pilihan dan kesempatan. Asal tidak sampai menyakiti hati mereka
yang telah mendidik kita. Kalau tidak salah, restu orang tua merupakan
berkah bagi anak-anaknya.
***
Epilog
Kini
kembali kepada kita selaku orang tua. Hendak ke mana generasi penerus
kita ingin dibawa. Ingin seperti Gayus? Ingin seperti Faisal Basri?
Ingin seperti Enstein? atau ingin seperti Susno Duadji (???).
Untuk
alumni non-STAN, mohon hargai kami anak-anak muda yang masih labil,
mudah tergerus arus ‘penumpang gelap’ reformasi. Doakan dan tegur kami
jika memang tidak memuaskan masyarakat. Meski tokoh seperti Amin Nur
Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, Emir Moeis, Max Moein, Arthalyta
Suryani, Jaksa Kemas Yahya, Jaksa Wisnu Subroto, Jaksa Esther, dan
sebangsanya yang telah terbukti bersalah, kami tidak pernah menuduh
almamater dan institusi mereka sebagai sarang koruptor.
Begitu
juga dengan aparat penegak hukum yang selama initak lepas juga dari
belitan masalah internal. Mengapa palu hukum kalian hanya tajam untuk
kaum marjinal, tapi tumpul ketika berhadapan dengan kaum elit. Sudah
berapa banyak tersangka kabur tidak tahu rimbanya tanpa andil kalian.
Silahkan
bersikap kritis, itu baik untuk perbaikan kami. Silahkan “rajam” kami
jika kalian tidak pernah “korupsi” sekali pun. Tidak pernah “menyuap”
polisi saat membuat SIM, tidak pernah “menyuap” jaksa saat tersangkut
perkara, tidak pernah “menyuap” Polantas saat kena tilang, dan tidak
pernah “menyuap” petugas pajak atau bea cukai demi keuntungan kalian. Jangan menuding sana-sini tapi hidung masih kotor. Perluas pergaulan dan wawasan agar pikiran tidak sempit. Itu saja.
Bulan
Juli nanti, mari kita buktikan. Mereka akan berbondong-bondong ke
stadion di seluruh kota-kota besar Indonesia untuk mengikuti Ujian
Saringan Masuk STAN. Sebagian besar generasi muda bangsa ini masih
menggantungkan harapan akan adanya kuliah gratis. Kaum marjinal ini
jangan lah kau nista saat mereka telah menikmati kerja kerasnya.
Laporkan jika ada ketidakwajaran. Cegah mereka dengan tidak memberi
iming-iming materi. Semua berawal dari Anda, pembayar pajak pembangunan
negara.
Bagi
keluarga yang sudah mampu dan takut putra-putrinya terjerumus seperti
kisah Gayus tadi, kami sarankan cari tempat kuliah yang lebih
menjanjikan lulusannya bebas korupsi, jangan di STAN.
Untuk
para mahasiswa STAN, belajar lah dengan kedalaman makna harapan orang
tua di pundak kalian. Begitu juga untuk rekan-rekan alumni STAN yang
kini tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau
Rote, dari Kepulauan Natuna hingga Tual Maluku Tenggara, dari Gunung
Sitoli hingga Sangihe Talaud. Mari kita jaga NKRI yang berdiri di atas
mayat-mayat pahlawan bangsa, kucuran keringat dan tetesan darah pendiri
negara. Dengan jiwa dan raga, dengan dedikasi dan integritas, dengan
tulus ikhlas bukan materi semata. Kita hanya sementara di dunia. Ada
kehidupan abadi menanti kita. Lupakan kisah si Gayus dan gayus-gayus
lainnya. Buktikan kita tidak sepertinya.
“Lulusan STAN punya dua pilihan, menjadi solusi bagi permasalahan bangsa atau ikut menambah masalah yang sudah ada, jika setuju pilihan kedua, maka keluar dari korps saya sekarang juga.”
(http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/29/mahasiswa-ui-vs-mahasiswa-stan-104457.html)
Tulisannya bagus sekali
BalasHapus