PENDAFTARAN TELAH DIBUKA, SILAHKAN KLIK MENU PENDAFTARAN! PENDAFTARAN GRATIS HINGGA 30 NOVEMBER 2014!

Minggu, 21 September 2014

Mahasiswa UI versus Mahasiswa STAN

Pagi sahabat semua, setelah dua hari bercengkerama dengan keluarga, kini tiba saatnya saya menyapa dan berinteraksi dengan kompasianer semua. 

Sungguh terkejut saya akan animo masyarakat termasuk penduduk kompasiana akan persoalan pajak ini. Tulisan-tulisan tentang pegawai pajak menghiasi tulisan terpopuler hari dan minggu ini. Antara lain berturut-turut berdasar waktu posting Damn! Uang Gua Dimakan (Ditilep) Orang Pajak! (kompasianer Streetlearner), Gayus Vs Tyas (Tyas Tlc), Mari Mengenal Pegawai Pajak Lebih Dekat (Lanjutan Tulisan Bung Minami) oleh Dewiwardhana, dan tadi malam Tidak Semua Orang Pajak Sebagaimana Diduga Banyak Orang (kompasianer Abutholib). Menurut saya ini baik untuk penyeimbang dan pencerahan bagi pembaca, tidak lantas tergiring opini media-media terutama televisi yang kadang kurang berimbang. Namun, kita juga jangan anti-kritik, terima kenyataan yang ada, tidak perlu lari dari tanggung jawab.
Untuk memahami akar permasalahan kasus tersebut, ada baiknya kita simak ulasan berikut berdasar kisah nyata yang saya hadapi di lingkungan keluarga kami, dan barangkali termasuk keluarga-keluarga lain mayoritas warga Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pilih Mana ?

Bagaimana jika dua perguruan tinggi terbaik negeri ini bertemu kemudian diadu? Bukan dalam pengertian anarkis semacam bentrokan dengan batu dan api. Tapi dari segi prestasi dan kiprah alumninya. Yang satu merupakan perguruan tinggi negeri (PTN) ‘sepuh’ di Indonesia, satu lagi perguruan tinggi kedinasan (PTK) ‘bau kencur’, baru berdiri pada tahun 1967.
Pada tulisan sebelumnya telah saya kemukakan profil singkat STAN, kini saatnya kita menengok UI, kampus si ‘jaket kuning’ di bilangan Salemba DKI Jakarta dan Depok Jawa Barat.

Profil Singkat Universitas Indonesia (UI)

UI berdiri pada tahun 1849 dan merupakan representasi institusi pendidikan dengan sejarah paling tua di Asia. Telah menghasilkan lebih dari 400.000 alumni, UI secara kontinyu melanjutkan peran pentingnya di level nasional dan dunia. Bagaimanapun UI tidak bisa melepaskan diri dari misi terkininya menjadi institusi pendidikan berkualitas tinggi, riset standar dunia dan menjaga standar gengsi di sejumlah jurnal internasional nomor satu.
Dengan predikat sebagai kampus terbaik negeri ini, UI secara aktif mengembangkan kerja sama global dengan banyak perguruan tinggi ternama dunia. Beberapa universitas terkemuka yang saat ini tercatat memiliki perjanjian dengan UI diantaranya adalah : Washington University, Tokyo University, Melbourne University, Sydney University, Leiden University, Erasmus University, Kyoto University, Peking University, Tsinghua University, Australian National University, and National University of Singapore.
Selain itu, UI saat ini juga memperkuat kerjasamanya dengan beberapa asosiasi pendidikan dan riset diantaranya: APRU (Association of Pacific Rim Universities) dengan peran sebagai Board of Director, AUN (ASEAN University Network), and ASAIHL (Association of South East Asia Institution of Higher Learning).
Secara geografis, posisi kampus UI berada di dua area berjauhan, kampus Salemba dan kampus Depok. Mayoritas fakultas berada di Depok dengan luas lahan mencapai 320 hektar dengan atmosfer “green campus” karena hanya 25 persen lahan digunakan sebagai sarana akademik, riset dan kemahasiswaan, sisanya 75 persen wilayah UI bisa dikatakan adalah area hijau berwujud hutan kota dimana di dalamnya terdapat 8 danau alam. Sebuah area yang menjanjikan nuansa akademik bertradisi yang tenang dan asri.




Saya sendiri sudah tiga kali ke UI Depok, kebetulan kakak sulung dan adik saya mengenyam pendidikan di sana. Dan memang begitu adanya, dalam hati saya membatin, “Ini kampus apa hutan?” Kerindangannya persis dengan kampus-kampus lain yang pernah saya kunjungi, seperti UGM Yogyakarta, UNS Surakarta, dan terutama Universitas Bengkulu yang benar-benar berada di pinggir hutan Bukit Barisan Sumatera. Begitu juga dengan STAN, seandainya dua atau tiga tahun lalu Anda bermain ke sana, barangkali Anda akan membatin, “Ini kampus apa ‘istana’?”
Saya sebut ‘istana’ karena waktu saya kuliah di sana, lingkungan STAN mirip dengan komplek Istana Merdeka. Bedanya, jika di rumah kepala negara itu dimeriahkan kijang atau rusa, di STAN juga sangat meriah dengan adanya kambing atau domba milik warga Betawi sekitar kampus.
Informasi tentang kampus STAN dengan berbagai suka-dukanya telah saya ulas di tulisan sebelumnya. Sekarang saya ingin mengajak pembaca untuk mendengar kisah seorang mahasiswa STAN dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Namanya Elifati Zendrato. Saya ambil sebagai contoh kasus di antara ribuan mahasiswa satu almamaternya.
Saya adalah putra daerah Nias yang diterima di STAN tahun 2008 jurusan Akuntansi Pemerintahan. Untuk daerahku yang agak terpencil, STAN tidak begitu terkenal. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) merupakan satu-satunya perguruan tinggi yang saya idam-idamkan sejak SMP.

blog Elifati Zendrato)
Kita juga jangan berpikir kalau masuk STAN itu mudah. Bagi para lulusan SMA diharuskan memiliki nilai rata-rata Ujian Nasional minimal 7,00 tanpa pembulatan. Belum lagi mengikuti Ujian Saringan Masuk (USM) yang diikuti oleh puluhan bahkan ratusan ribu pendaftar tiap tahun. Kalau Anda tidak mau melakukannya, saya sarankan Anda tidak perlu menghabiskan uang Rp 100,000 untuk biaya pendaftaran. Masuk STAN bukanlah untung-untungan, tetapi hasil yang murni.
Akhirnya pada tanggal 3 September 2008, saya sudah tidak sabar untuk melihat pengumuman. Alhamdullilah, saya diterima di STAN. Impian seorang anak desa pun terwujud. Hari itu berbagai telepon dan sms yang masuk dari keluarga dan teman-teman yang mengucapkan selamat saya terima.
Setelah lulus STAN apa yang harus mereka lakukan? Apakah mau seperti Gayus produk lama itu? 


Berikut penuturan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam pembekalan lulusan STAN di Jakarta pada Selasa 10 November 2009. Saya kutip dari blog Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) STAN : http://mahasiswastan.wordpress.com/2009/11/12/harapan-ibu-menteri-kepada-lulusan-stan/
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menantang lulusan Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) agar dapat berkompetisi dengan lulusan non-STAN pada saat menjadi pegawai Departemen Keuangan.Dia juga meminta agar pada saat menjadi PNS dapat menjadi sosok yang mengemban amanah. Dia mengingatkan sejak awal melamar STAN, wisudawan seharusnya sadar dengan komitmen yang akan mengabdi sebagai abdi negara.
“Kehadiran saudara di lingkungan birokrasi pemerintah adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada publik. Itu bukan tugas yang ringan”
Menurutnya konsekuensi menjadi PNS memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Apalagi, lanjut dia, saat ini publik terus menerus berharap adanya birokrasi pemerintah yang amanah. Saat ini harapan itu belum dinikmati oleh publik.
Karena itu, dia berpesan agar lulusan STAN yang terjun ke dunia kerja harus bekerja ekstra keras, menjaga diri, “Tidak pernah berkompromi sedikitpun terhadap nilai-nilai yang dipegang, integritas dalam diri dan institusi,” katanya.
Seluruh lulusan STAN harus terus menerus memperbaiki kompetensi diri sendiri. Sri Mulyani mengaku tak puas dengan IPK rata-rata 3, dengan IPK maksimal 3,7.
Menurut dia, itu adalah pencapaian yang bagus untuk kurikulum yang sudah di desain bagus. Namun jika mengingat pengalaman sebagai Menkeu, pergaulan internasional, dan tantangan bangsa ke depan, dia menganggap IPK 3,6 belumlah cukup.
Untuk itu dia menantang lulusan STAN agar menunjukkan bahwa mempunyai kualitas yang baik atau sama dengan lulusan perguruan tinggi terbaik dari seluruh negeri. Tahun ini Departemen Keuangan menerima 1.200 pegawai negeri baru dari berbagai universitas. ”Jika mahasiswa STAN mempunyai IPK 3,6 namun tidak lebih baik dari mahasiswa UI dengan IPK 3,4 anda harus malu,” kata dia.
Dia mengaku tidak rela jika apa yang ia kerjakan, menandatangani Surat Keputusan, memberikan beasiswa, menambah anggaran, jika lulusannya kalah dengan universitas lain. “Maka investasi pemerintah dianggap gagal,” ujarnya.
***
Berkaca dari kisah Elifati Zendrato tadi, dapat disimpulkan semua siswa SMA kalau ditanya UI pasti tahu, namun belum tentu dengan STAN. Saya yakin siswa dari kalangan marjinal, hampir tidak mungkin berani mendaftar UI dengan keterbatasan ekonomi orang tuanya. Artinya, STAN atau PTK-PTK lain adalah harapan terakhir yang pragmatis untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Meski tidak menutup kemungkinan kuliah di tempat lain, karena berbagai pertimbangan.
Setelah Ujian Nasional SMA usai minggu lalu, konsentrasi siswa dan orang tua selanjutnya adalah satu dua bulan lagi (Juni dan Juli). Mereka tentu sibuk mencari pilihan tempat kuliah yang terbaik, pengalaman yang selalu dialami setiap lulusan SMA. Tidak terkecuali saya sembilan tahun lalu dan adik saya pada tahun lalu.
Perkenalan dengan STAN bagi saya hanyalah kebetulan belaka. Pada waktu itu sama sekali tidak terbersit sedikit pun ingin kuliah di sana. Tujuan saya pada waktu itu adalah UNS dan UI. Di kemudian hari, Allah telah menuntut kami hingga sampai sekarang ini. Kini, kami bahagia dengan kenikmatan yang ada, tidak pusing setelah lulus hendak ke mana. Cukup pragmatis memang, meskipun belum mencapai kepuasan maksimal.


Begitu juga ketika adik saya –Arif namanya- hendak mengikuti USM STAN di Gelora Bung Karno, Juli 2009 lalu. Sebelum menuju ke lokasi, pagi-pagi saya bisikkan pesan kepada Arif untuk santai saja dalam mengerjakan soal ujian. STAN tidak cocok untukmu. Saya khawatir jika nantinya jadi masuk STAN, dirinya bisa dilempar ke pelosok negeri seperti kisah Aryo dari Buntok di tulisan saya lalu. Bagaimana jika setelah lulus nanti penempatannya ke kota yang susah aksesnya. Sebagai kakak, cukup saya saja yang jauh dari orang tua kami yang telah sepuh.
Untunglah, sebelum mengikuti USM, dia telah mengantongi tiket kuliah ke UI lewat jalur SIMAK menyingkirkan 75 ribu pendaftar lainnya.  Melihat potensi yang dimiliki si Arif cukup menjadi alasan agar dia tidak perlu masuk STAN yang ujung-ujungnya ‘hanya’ menjadi PNS. Padahal dengan tidak menjadi PNS, kita bisa mengeksplorasi semua kemampuan yang dimiliki tanpa dibatasi birokrasi dan aturan yang mengikat. Bukankah kisah tokoh besar –bukan dalam materi- tidak kita temui pada profesi Pegawai Negeri Sipil? Kecuali hanya sekedar latar belakang, sama halnya dengan tokoh-tokoh penting negara yang berasal dari lingkungan militer, seperti Soeharto, SBY, Sjafrie Sjamsoeddin, dan yang lainnya.

Gampangnya, tokoh sekelas Thomas A. Edison, Albert Einstein, Benjamin Franklin, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, dan Rasulullah Muhammad saw, bukanlah berprofesi sebagai PNS meskipun mereka juga pengabdi masyarakat dan abdi Tuhan yang mulia.

Dan, harapan saya pada si Arif dan mungkin anak-anak sejenisnya kini mulai menunjukkan tanda-tandanya. Sesuatu yang saya rasa susah untuk didapat di kampus STAN, kuliah dengan tingkat stressing cukup tinggi, setiap tahun banyak yang berguguran di tengah jalan (kini IPK semester ganjil minimal 2,41 dan semester genap 2,75). Dan benar adanya, dia memiliki komunitas sendiri yang sangat kondusif membentuk karakter menjadi orang sukses suatu saat nanti. Mereka bisa mandiri dengan kemampuan yang dia miliki. Bisa menjadi leader untuk diri dan masyarakatnya serta tidak selalu menggantungkan bantuan orang lain. Artinya, lingkungan akan membentuk watak yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian dan masa depannya kelak. 




Tokoh nasional sekaliber Faisal Basri adalah contohnya, apalagi dia juga satu almamater dengan adik saya Arif dan menkeu kita Sri Mulyani. Secara materi dia tidaklah sekaya anggota-anggota DPR yang tadinya berprofesi sebagai sopir mobil box, tukang ojek, PNS, kiyai, pendeta, pastur, atau apa lah itu. Namun dedikasi dan konsistensinya sebagai profesional membuat saya terinspirasi olehnya. Menjadi sukses bukanlah kecukupan secara materi. Saya ingat kisahnya ketika menghadiri suatu acara, Faisal Basri datang tergopoh-gopoh karena baru saja naik ojek dan kereta Jabodetabek. Begitu juga harapan saya kepada Arif dan pemuda-pemuda sebayanya.
Biarlah orang tua memiliki sebuah harapan, namun kita yang menjalaninya juga memiliki pilihan dan kesempatan. Asal tidak sampai menyakiti hati mereka yang telah mendidik kita. Kalau tidak salah, restu orang tua merupakan berkah bagi anak-anaknya.
***
Epilog 

Kini kembali kepada kita selaku orang tua. Hendak ke mana generasi penerus kita ingin dibawa. Ingin seperti Gayus? Ingin seperti Faisal Basri? Ingin seperti Enstein? atau ingin seperti Susno Duadji (???).
Untuk alumni non-STAN, mohon hargai kami anak-anak muda yang masih labil, mudah tergerus arus ‘penumpang gelap’ reformasi. Doakan dan tegur kami jika memang tidak memuaskan masyarakat. Meski tokoh seperti Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, Emir Moeis, Max Moein, Arthalyta Suryani, Jaksa Kemas Yahya, Jaksa Wisnu Subroto, Jaksa Esther, dan sebangsanya yang telah terbukti bersalah, kami tidak pernah menuduh almamater dan institusi mereka sebagai sarang koruptor. 

Begitu juga dengan aparat penegak hukum yang selama initak lepas juga dari belitan masalah internal. Mengapa palu hukum kalian hanya tajam untuk kaum marjinal, tapi tumpul ketika berhadapan dengan kaum elit. Sudah berapa banyak tersangka kabur tidak tahu rimbanya tanpa andil kalian.

Silahkan bersikap kritis, itu baik untuk perbaikan kami. Silahkan “rajam” kami jika kalian tidak pernah “korupsi” sekali pun. Tidak pernah “menyuap” polisi saat membuat SIM, tidak pernah “menyuap” jaksa saat tersangkut perkara, tidak pernah “menyuap” Polantas saat kena tilang, dan tidak pernah “menyuap” petugas pajak atau bea cukai demi keuntungan kalian. Jangan menuding sana-sini tapi hidung masih kotor. Perluas pergaulan dan wawasan agar pikiran tidak sempit. Itu saja.

Bulan Juli nanti, mari kita buktikan. Mereka akan berbondong-bondong ke stadion di seluruh kota-kota besar Indonesia untuk mengikuti Ujian Saringan Masuk STAN. Sebagian besar generasi muda bangsa ini masih menggantungkan harapan akan adanya kuliah gratis. Kaum marjinal ini jangan lah kau nista saat mereka telah menikmati kerja kerasnya. Laporkan jika ada ketidakwajaran. Cegah mereka dengan tidak memberi iming-iming materi. Semua berawal dari Anda, pembayar pajak pembangunan negara. 

Bagi keluarga yang sudah mampu dan takut putra-putrinya terjerumus seperti kisah Gayus tadi, kami sarankan cari tempat kuliah yang lebih menjanjikan lulusannya bebas korupsi, jangan di STAN.

Untuk para mahasiswa STAN, belajar lah dengan kedalaman makna harapan orang tua di pundak kalian. Begitu juga untuk rekan-rekan alumni STAN yang kini tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, dari Kepulauan Natuna hingga Tual Maluku Tenggara, dari Gunung Sitoli hingga Sangihe Talaud. Mari kita jaga NKRI yang berdiri di atas mayat-mayat pahlawan bangsa, kucuran keringat dan tetesan darah pendiri negara. Dengan jiwa dan raga, dengan dedikasi dan integritas, dengan tulus ikhlas bukan materi semata. Kita hanya sementara di dunia. Ada kehidupan abadi menanti kita. Lupakan kisah si Gayus dan gayus-gayus lainnya. Buktikan kita tidak sepertinya.

Ingat pesan SMI saat melepas alumni STAN 2008 (kisah wisuda adiknya Aryo, sahabat kami),
“Lulusan STAN punya dua pilihan, menjadi solusi bagi permasalahan bangsa atau ikut menambah masalah yang sudah ada, jika setuju pilihan kedua, maka keluar dari korps saya sekarang juga.

(http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/29/mahasiswa-ui-vs-mahasiswa-stan-104457.html)

1 komentar: