Pagi tadi saya baru keluar dari pintu gerbang
belakang kampus STAN. Seorang Bapak membonceng seorang putrinya langsung
menghampiri para satpam yang berada di posko. “Pak, kalau mau daftar
STAN ke mana?” tanya Bapak itu. Saya hanya lewat dan tidak memperhatika
pembicaraan lebih jauh. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara merupakan
sekolah kedinasan di bawah Kementerian Keuangan. Setiap mahasiswa di
sini memiliki cerita masing-masing. Ada kisah di setiap perjuangan untuk
masuk ke sini. Begitulah kami menyebutnya sebagai perjuangan. Bagi
saya, masuk ke sini bukan tanpa halangan dan rintangan.
Saya mengenal STAN dari Bapak. Tahun 2001, saat saya baru saja pulang
dari pemberian penghargaan tiga lulusan terbaik SMP pada waktu itu. Saya
menduduki runner up dan sohib saya Dwi Wibowo (Sekarang bekerja di
Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu). Bapak waktu itu semangat sekali
ingin saya masuk STAN. Masih bergumul dalam benak saya bahwa STAN itu
sekolah keren. Ternyata Bapak mendapatkan inspirasi dari salah seorang
Om saya, Rahmat Mulyono (sekarang menjadi Kepala Seksi di Direktorat
Akuntansi dan Pelaporan, Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu). Setelah itu,
saya tidak terlalu obsesi dengan yang namanya STAN sebenarnya.
Saat masuk SMA, guru-guru mulai antusias menceritakan SIPENMARU dan
UMPTN. Saya saat itu masih culun dengan istilah-istilah itu. Konon di
keluarga saya hanya Bapak yang lulus SIPENMARU di IKIP JAKARTA (sekarang
Universitas Negeri Jakarta). Saat itu saya kehilangan orientasi
belajar, bahkan-mungkin-orientasi hidup. Akhirnya ada seseorang yang
“menjerumuskan” saya kedalam jurang kebenaran dan keindahan Islam, ROHIS
SMA N 1 Karanganyar. Di sana saya ketemu banyak ikhwah yang luar biasa.
Rata-rata jadi bintang kelas. Sedangkan saya sendiri merasa
ber-”bintang tujuh” (pusing) dengan pelajaran di kelas. Entah kenapa,
saat itu saya sempat mengalami yang namanya “kehilangan kecerdasan”
karena galau level kelurahan stadium 9.
Barangkali hanya saya yang nilai akademiknya paling ancur diantara para
anggota Rohis. Setelah ikut berbagai kegiatan, dapat nasehat ini-itu
dari para senior dan rekan-rekan organisasi, saya jadi move-on. Saya
kagum dengan teman-teman alumni ROHIS yang diterima di perguruan tinggi
negeri dengan jurusan favorit seperti teknik mesin, teknik elektro,
kedokteran, farmasi, dan STAN. Senior di ROHIS yang masuk STAN
diantaranya adalah Mas Swandoko dan Mas Shiddiq Gandhi. Keduanya
sekarang bertugas di Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu.
Suatu ketika saya bersama teman-teman sedang memandangi halaman bawah
karena kelas masih kosong, guru belum datang. Tiba-tiba sekelebat
manusia berjaket hitam naik motor Honda masuk ke halaman sekolah. Jaket
hitam itu berwarna kuning bertuliskan “STAN”. Dalam hati saya berguman
“Betapa enaknya bisa masuk STAN. Pingin saya masuk STAN.” Pria tadi Mas
Eko, atau sering kami menyebutnya Mas Eko Gundul.
Setahun berlalu dan saya akhirnya masuk ke kelas 3 IPA. Sama sekali
sebenarnya tidak relevan kalau dipaksakan untuk masuk STAN. Saat itu
orientasi utama saya adalah SPMB-Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SNMBTN era 2004). Tulisan mengenai “Cara Saya menjebol SPMB/SMNBTN”
akan saya tulis kemudian. Saya ingin diterima di fakultas teknik. Saat
itu target umum anak-anak IPA untuk ikhwan/cowok itu teknik dan untuk
akhwat /cewek itu kedokteran. Saat itu saya ingin ambil teknik dan masih
terpikir untuk masuk STAN. Itu karena keinginan orangtuan, terutama
Bapak yang sangat menggebu-gebu.Saya sering mondar-mandir ke warnet
untuk download soal-soal USM STAN yang saat itu masih sangat terbatas.
Kecepatan internet saat itu membuat saya sering-sering beristighfar.
Bagaimana tidak, membuka sebuah website saja butuh waktu 5-10 menit dan
download satu buah file PDF butuh waktu hingga 1 jam (sekarang saya buka
file serupa kadang hanya dalam satu kedipan mata, hehe). Saya ngeprint
soal-soal USM STAN yang tentu saja tidak sedikit biaya yang saya
keluarkan. Sebelumnya saya memfotokopi buku kumpulan soal STAN dari buku
fotokopian juga karena tidak ada lagi yang asli. Buku kumpulan soal itu
akhirnya tidak pernah saya buka karena soalnya sudah tidak relevan.
Saat di warnet saya ketemu Mas Margono (saat ini beliau bertugas di
Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu). Kemudian sebelum berpisah saya
sampai sempat berucap, “Mas, tolong doanya biar bisa seperti Njenengan
(Anda-jawa).”
Kemudian di kelas ada yang menawarkan buku USM STAN terbaru. Tanpa pikir
dua kali langsung saya pesan. Apapun saya lakukan agar bisa lulus USM
STAN. Harganya cukup relatif mahal karena menggerus cukup banyak pos
anggaran uang saku saya waktu itu. Tapi tak apalah, ada harga yang harus
dibayar dari setiap kesuksesan. Saya pelajari soal-soalnya. Tidak
terlalu sulit seperti soal SPMB, tapi… waktunya cukup singkat. Harus
bisa mengerjakan 300 soal dalam waktu 300 menit. Artinya kita harus bisa
mengerjakan satu soal satu menit. Saya kemudian berpikir, bagaimana
bisa mengerjakan semua soal ini dengan cepat, tepat, dan akurat. Saya
menyadari tidak semua soal bisa saya kerjakan sebenarnya. Kemudian saya
menimbang-nimbang yang sekarang ini saya mengenalnya sebagai teori
pareto optimum (aturan 80:20). Dari 100% soal yang saya hadapi, ada 80%
soal yang bisa saya kerjakan. 80% itulah yang saya cari dan 20% akan
saya kerjakan berikutnya.
Rahasia I: soal STAN itu setiap tahun mirip tipe dan jumlahnya. Deviasi
tipe soal setiap tahun hanya sekitar 5% saja. Maksudnya 5% dari soal USM
STAN tahun terakhir. Kemudian saya lakukan simulasi/try out mandiri
dengan Buku USM STAN dan hasilnya, masih belum memuaskan. Saya kemudian
ikut try out yang diadakan Ikatan Mahasiswa Karangayar STAN. Hasilnya
ternyata tidak begitu memuaskan, saya masih di peringkat 20-an dari yang
ikut. Sedangkan saya hanya bisa mengerjakan 40% saja. Menurut saya, itu
masih belum cukup untuk menembus USM STAN yang sebenarnya. Saya harus
melakukan evaluasi belajar. Saya buka lagi soal USM STAN, saya perkaya
dengan latihan buku-buku psikotest yang ternyata soalnya hampir sama.
Saya analisis lagi, apanya yang kurang. Apa salah saya. Bagaimana cara
mengerjaan dengan lebih baik. Saya galau…..
Kegalauan itu membuat saya belajar sampai larut malam, bangun sebelum
shubuh. Habi sholat shubuh belajar sampai hampir lupa mandi, sarapan dan
berangkat sekolah. Saya belajar untuk menghadapi SPMB dan USM STAN
secara simultan dan berkesinambungan (seperti istilah pakar ekonomi
sekarang, hehe). Sampai akhirnya saya ikut Try Out USM STAN untuk kedua
kalinya di GOR Manahan Solo yang diselenggarakan oleh Bimbel khusus USM
STAN dan STT TELKOM, Iwan*sari. Saya tidak tahu Bimbel macam apa itu,
tapi yang penting ikut tryout dengan nebeng mobil sohib saya Daru
Setiawan (Sekarang alumni STT Telkom). Pulangnya saya agak puas setelah
berhasil menjawab sekitar 75% dari soal yang ada. Setelah ujian SPMB
saya baru intens belajar USM STAN lagi, saya buka kembali buku USM STAN,
saya lakukan simulasi sampai 4 kali. dan hasilnya saya bisa mengerjakan
93%-97%. Setelah itu saya merasa ‘cukup’, saya siap tempur.
Juli 2004, Menuju hari H bukan tanpai main repotnya. Alhamdulillah, ane
dibantu Mas Sofyan Hadinata (Sekarang jadi dosen Akuntansi di FEUNS).
Kami berangkat bersama ke Jogjakarta sejak pukul 07.00. Jarak
Jogja-Kabupaten Karanganyar +/-70 KM dan ditempuh dengan waktu 1,5 jam
dengan naik motor. Saya menginap di rumah saudara Mas Sofyan. Sore
harinya kami sepakat, sebagai pelaksanaan best practice, akhirnya cek
TKP ke STIE Kerjasama (STIEKERS) Yogyakarta yang runtuh pada 2005 silam
karena gempa di Jogja :( Saya mencari tempat duduk sesuai nomor Bukti
Peserta Ujian (BPU). Saya cuma bisa mengehela nafas dalam-dalam.
Pasalnya saya harus duduk di tribun penonton GOR STIE STIKERS. Tidak
nyaman memang, namun ujian harus dijalani dan perjuangan baru akan
dimulai. Malam H-1, Mas Sofyan tampak asik belajar review soal dan saya
sebenarnya sudah ‘bosen’ (ceileh boseennnn :P). Akhirnya saya
ikut-ikutan sebentar, cuma 30 menit. Pagi harinya setelah sarapan kami
meluncur ke lokasi. Karena sudah cek TKP jadi tidak was-was dan cemas.
Saya sudah cek amunisi yang antara lain sebagai berikut:
1. Pensil 6 buah, kedua ujung saya raut untuk jaga-jaga tumpul di tengah ujian. Bukan untuk dijual lagi :)
2. Bukti peserta ujian dengan foto saya yang ganteng (tidak cantik)
3. Penghapus boxy hitam yang sudah saya potong jadi dua sebagai manajemen risiko jika yang satu hilang, satunya lagi masih ada.
4. Bolpen dan tip eks jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
5. Jam tangan, waktu itu saya belum punya HP dan HP pun ternyata tidak dibolehkan.
6. Tisu secukupnya, tangan saya suka keringetan.
7. Papan melamin karena saya sudah tahu harus duduk di tribun.
8. Rautan pensil, jika ternyata ada force majeur semua pensil saya patah.
Akhirnya saya duduk dengan tenang di tengah-tengah keributan panitia.
Soal saya dapatkan dan akhirnya, sedia, siap, yak!! saya mengerjakan
soal dengan konsentrasi 120% sambil berguman dalam hati. Saya harus
lulus, whatever! pokoknya! saya harus lulus!!!!!!! dan saat 10 menit
terakhir saya mendenger sesuatu. Gergaji mesin terdengar dari sudut 45%
di luar gedung. Ini apa panitianya ga kasih tahu kepada pak tukangnya.
Hadeh, saya kan ga bisa konsen kalau sudah berisik (pengen banget lempar
pot bunga diikat dengan granat). ngeeeengggg!!!!! benar-benar pengen
marah dan untungnya kejadian itu cuma 5 menit. saya sudah agak kacau dan
mencoba memeriksa lagi jawaban saya. Saya masih bingung dengan vocab
bahasa Inggris, sinonim dan antonim. Mau dikerjakan dengan metode
penalaran tidak bisa, SMART Solution tak bedaya. Akhirnya saya
menggunakan metode paling ampuh, INTUISI!haha. Saya pilih yang
‘kayaknya’ pas. Persentase pengerjaan 87% dan saya dengan agak sedih
menyerahkannya kepada pengawas ujian. Saya cukup puas meski tidak puas
banget. Saya tidak seyakin seperti saat ujian SPMB. Saat di rumah
saudara Mas Sofyan, saya sudah males banget. Mas Sofyan membahas
soal-soal yang kami kerjakan tadi. Saya sebenarnya pengen tutup telinga
saja. Sebenarnya soal-soal yang sudah dikerjakan waktu ujian tidak perlu
dibicarakan lagi, tidak ada gunanya. Akhirnya saya ikut membahasnya dan
ternyata beberapa soal ada yang salah. Penyisihan soal yang salah
sekitar 5%, saya cuma manyun aja.
Kami meninggalkan Jogja saat hari H sekitar ba’da Dhuhur. Jogjakarta
memang kota sejuta kenangan (melow dikit haha). Dua kali menjadi tempat
ujian masuk PTN. Setelah melewati Kota Sukoharjo, saya dan Mas Sofyan
kehujanan. Kami lalui hujan itu dengan pasti (pasti basah). sampai
akhirnya motornya masuk ke dalam lubang yang tertutup genangan air
“brak!”. Kami putuskan untuk berteduh di sebuah rumah kosong. Kami
akhirnya menyadari bahwa ban yang tadi masuk ke lubang bocor. Mungkin
karena hantaman pelek dengan aspal dan akhirnya ban dalamnya sobek.
Sebuah diagnosis sederhana.
Langit mulai gelap disertai gerimis dan jalanan juga sepi. Pas banget
untuk syuting film horor. Setelah tanya orang-orang akhirnya kami harus
berjalan 3 km untuk menemukan tukang tambal ban yang 24 jam. Tempatnya
pun di pelosok desa, jauh dari jalan raya. Akhirnya saya sampai dicari
Bapak, dan cerita bla..bla..bla.. mengenai ‘musibah’ kami itu. Bapak
dengan senyum berkata, “mungkin ini pertanda bakalan lulus Nak.” Saya
berguman, “aamin”. Sampai rumah masih penasaran dengan soal bahasa
Inggris yang saya kerjakan dengan ajian ‘pengawuran’ itu. Ternyata
jawaban saya betul. Senangnya hatiku :)
Semarang, 13 Agustus 2004. Politeknik Ilmu Pelayaran,setelah saya
menjalani tes kesehatan dan wawancara untuk masuk Akademi Meteorologi
dan Geofisika (setelah saya ketahui belakangan, kampusnya tetanngga
dengan STAN, hanya beda kecamatan). Sebai filler di cerita ini, setelah
menjalani pemeriksaan fisik dan lab, akhirnya masuk ke ruang wawancara.
Berbagai pertanyaan muncul dari dua pewawancara. “Mas, selain daftar di
sini, daftar mana?” Saya jawab, “Teknik Elektro UGM Pak”. Kemudian Bapak
tadi melanjutkan pertanyaan, “jika Mas Siko diterima di UGM juga mana
yang akan diambil?” Tanpa merasa bersalah dan khawatir, “Saya pilih UGM
Pak!”. Pewawancara kemudian senyam-senyum dan melanjutkan pertanyaa.”
Jadi Mas tidak diterima bagaimana?” Saya jawab, “Ya tidak apa-apa, kalau
ada yang lebih baik dari saya.” Kemudian saya keluar dari ruangan dan
pulang ke rumah nenek di Jatingaleh, Semarang. Saat itu memang saya
sudah tahu bahwa nama saya ada di koran pada pengumuman SPMB. Saya
nothing to lose saja.
Setelah Jumatan, saya mau tidur. Tiba-tiba bibi saya mendatangi saya dan
berkata “selamat Dek Siko, diterima di STAN Jurusan Anggaran. Baru saja
Bapakmu telepon dari Jogja.” Terus terang, saya pingin nangis. Bukan
hanya karena saya diterima di STAN. Melainkan juga bapak sendiri yang
datang jauh-jauh dari rumah ke Balai Diklat Keuangan di Kabupaten
Karanganyar ke Yogyakarta. Saya tertegun. Meski usaha saya sudah penuh,
semua itu atas pertolongan Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali
pertolongan Allah.
Setiap perjuangan selalu ada harga yang harus dibayar. Harga itu tidak
harus berniai uang, tapi juga waktu, perhatian, semangat, komitmen, dan
pantang menyerah. Tidak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak.
Tidak peduli dengan masa lalu dan latar belakang Anda. Setiap orang yang
ingin masuk STAN sebenarnya sudah punya hak untuk masuk STAN. STAN
tidak memandang Anda kaya atau miskin. STAN tidak memandang fisik dan
status sosial Anda. Jangan takut dengan pesain. Pesaing tidak menjadi
masalah selama Anda mengerjakan soal dengan sebanyak-banyak dengan
tingkat kebenaran yang meyakinkan. Fokuslah pada diri Anda.Seberapa
besar keinginan Anda untuk diterima di STAN? Sudah berapa jam kah Anda
sisihkan untuk belajar/latihan? Sudah kah Anda belajar dari orang-orang
yang berpengalaman? Sudahkah Anda ikut Try Out USM STAN? Kisah ini hanya
sekelumit cerita seseorang yang biasa-biasa saja. Jika saya bisa, maka
Anda juga bisa.
(http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/10/-cara-saya-menjebol-usm-stan-567492.html)
(http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/10/-cara-saya-menjebol-usm-stan-567492.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar